Research, Report, and Repost: Menepis Konten ‘Omong Kosong‘ Politik Modern
Hoaks bukan sabda yang harus diamini
Menjelang
pemilu, lalu lintas internet Indonesia kian padat akan informasi palsu (hoaks).
Christiany Juditha dalam Jurnal Pekomnas tahun 2018 menulis, kemunculan hoaks
semakin banyak pada saat pemilihan umum
presiden atau pemilihan kepala daerah. Survei Mastel 2017 tahun 2017 menyuguhkan data
mengenai penyebaran hoaks yang terjadi di Indonesia. Kanal berbasis internet antara lain web, media sosial, dan aplikasi obrolan
paling berpotensi sebagai saluran penyebaran hoaks. Media sosial menjadi kanal
terpadat akan hoaks (92,40%). 91,80% responden menyatakan berita seputar sosial
politik.
Data yang tersaji mengindikasikan aktivitas
dunia maya di Indonesia masih rentan terhadap hoaks. Daily Social id menyatakan adanya kecenderungan masyarakat
tuntuk membagikan konten yang diterima tanpa adanya pemahaman yang utuh akan
konteks. Akibatnya, muncul berbagai sudut pandang dan kesalahpahaman. Di
Indonesia, hal ini masif terjadi pada bidang politik.
Nuril Hidayah dalam jurnal Ar-Risalah tahun
2018 menyinggung tentang situasi yang disebut bad digital citizenship. Fenomena ini menyoroti kurangnya kecakapan
masyarakat dalam menggunakan teknologi digital secara efektif dan bertanggungjawab.
Kawin silang antara rendahnya bad digital
citizenship dengan sentimen politik yang memanas, membiakkan omong kosong
perpolitikan Indonesia.
Pemilu dan Hoaks
Pemilihan
presiden dan wakil presiden akan diselenggarakan April 2019.
Dilansir dari m.cnnindonesia.com,
seorang peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Wasisto Raharji Jati
memperkirakan kampanye tahun 2019 akan lebih panas dibanding 2018.
Konten
omong kosong acapkali dimanfaatkan
untuk menggiring opini publik. Media sosial kemudian
bertransformasi menjadi gelanggang perang kampanye. Terlebih kampanye yang
dilakukan berbentuk black campaign. Black campaign—kampanye hitam—memiliki
tujuan untuk menjatuhkan pihak lain. Penyebaran hoaks menjadi salah satu cara
dalam melakukan kampanye hitam. Wasisto menambahkan
penggunaan strategi ini dinilai ampuh untuk mengubah perilaku masyarakat.
Menempati posisi pertama dalam penyebar
hoaks politik, media sosial memiliki kekuatan dalam menyebarkan informasi.
Informasi terdistribusi secara broadcast
(massa). Dikutip dari nasional.kompas.com
Wawan Purwanto, Direktur Informasi dan Komunikasi Badan Intelejen Negara
menyatakan bahwa penyebar hoaks memiliki pengaruh besar daripada fakta karena
dia tahu emosi massa. Mengamini pernyataan Wawan, keunggulan hoaks adalah
sifatnya yang langsung menyentuh emosional massa. Pernyaataan Wawan menjadi
linier dengan penjelasan Eric Kunto Aribowo dalam artikelnya yang berjudul Menelusuri Jejak Hoaks Dari
Kacamata Bahasa: Bagaimana Mendeteksi Berita Palsu Sedini Mungkin tahun
2017 mengenai analisis piranti bahasa yang dipakai dalam hoaks. Penyebar hoaks
menggunakan bahasa untuk menarik massa daripada fakta empiris atau landasan
ilmiah.
Gambar di atas
merupakan salah satu kiriman oleh pengguna Facebook yang terindikasi sebagai
hoaks. Aribowo juga menjabarkan piranti bahasa yang
dapat dijadikan indikator analisis konten hoaks. Indikator tersebut yaitu judul
yang provokatif, pungtuasi yang berlebihan, kata yang berunsur imperatif,
bahasa nirbaku, dan bahasa yang mengandung sarkasme.
Pengkultusan
salah satu pasangan calon (paslon) dan menjatuhkan pihak lain menelurkan omong
kosong. Akibatnya, masyarakat kehilangan esensi pendidikan politik. Demokrasi
tereduksi menjadi tidak lebih dari sekedar euforia coblosan untuk memenangkan paslon yang dijagokan. Kampanye hitam
justru menjadi polusi dalam atmosfir pemilu yang didaku sebagai pesta
demokrasi.
Hoaks bukan
sabda yang harus diamini. Hoaks pada dasarnya adalah informasi palsu dan tidak
berdasar pada fakta. Gambar di atas menjadi contoh lain bahwa keberadaan hoaks adalah
penghinaan terhadap nalar manusia. Mempercayai informasi palsu lantaran sentimen politik berarti
mengeliminasi aspek kognisi dalam diri sendiri. Sentimen ini mengaburkan
kemampuan diri untuk melihat sesuatu secara faktual yang empiris.
Kepekaan terhadap informasi menjadi penting dalam hingar
bingar kampanye politik. Kepekaan ini dapat terejawantahkan melalui tindakan riset
atau research. Research menjadi
penting lantaran sebagai bentuk meminimalisir konten hoaks. Ini dalam rangka
membangun sikap kritis dan skeptis khalayak. Gunanya agar masyarakat tidak
melulu dimanfaatkan dan dirugikan oleh pihak yang berkepentingan. Pihak ini
adalah mereka yang secara serampangan menggunakan hoaks untuk kampanye.
Research, Report, and Repost
Research adalah
landasan fundamental dalam berargumentasi. Tanpa fakta, argumen tidak lebih
dari sebuah bualan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. Berbekal riset, khalayak juga memiliki pengetahuan
akan konten yang dikonsumsinya. Pengetahuan
adalah modal bagi khalayak untuk menentukan sikap atas sebuah konten.
Media
memiliki fitur report yang berfungsi
melaporkan akun atau kiriman pengguna. Memanfaatkan fitur report dalam media sosial, konten yang terindikasi hoaks dan black campaign dapat dilaporkan. Pihak
media sosial memberikan opsi terkait alasan pelaporan. Pelaporan yang masif berujung pada penghapusan kiriman
atau penutupan akun oleh pihak media sosial.
Tindakan
me-report konten hoaks secara
konsisten menghindarkan khalayak lain (konsumen) dari informasi palsu. Terlebih konsumen ini
pun dapat berperan ganda sebagai distributor bahkan produsen konten yang
berpengaruh terhadap algoritma informasi. Oleh karenanya, tindakan ini memiliki
sumbangsih untuk memutus setidaknya satu mata rantai hoaks.
Khalayak
harus sadar tentang apa dan bagaimana dampak dari akan keberadaan sebuah
informasi. Berbekal pengetahuan, khalayak dapat secara bijak menentukan sikap
sekaligus mengambil tindakan atas konten yang beredar. Bukan hanya report, media sosial memfasilitasi khalayak untuk membagikan konten yang
sudah ada.
Mengedarkan
kembali konten yang sudah ada lazimnya disebut repost. Repost dapat
dilakukan setidaknya dengan menggunakan fitur share. Selain itu konten dapat dipublikasikan ulang dalam sebuah
kiriman yang berbeda. Namun, dalam kasus publikasi ulang, pencantuman sumber
perlu dilakukan.
Tindakan repost
memiliki manfaat dalam hal perluasan distribusi informasi. Sebagai aktor dalam
sirkulasi informasi, khalayak berhak berkontribusi menentukan konten yang layak
beredar. Saring sebelum sharing adalah contoh ungkapan yang
dapat mendiskripsikan tindakan tersebut.
Gerakan
Perubahan
Media sosial adalah gelanggang pertarungan wacana. Namun,
wacana tanpa fakta tidak lebih dari omong kosong. Tindakan research,
report and repost menjadi tindakan mandiri
untuk menjaga media sosial dari polusi black
campaign.
Herlina dalam draft buku berjudul Literasi Media tahun 2018 menyebut
ringkasan Buckingham tentang empat pendekatan dalam literasi media, yaitu: 1)
proteksionisme, 2) uses and gratification,
3) khalayak aktif dan 4) cultural studies. Nomor dua sampai empat adalah yang
relevan terhadap khalayak dunia maya. Ketiga pendekatan tidak melabeli khalayak
sebatas konsumen pasif akan konten di dunia maya. Terlebih pendekatan cultural studies yang memiliki goals berupa social movement.
Literasi media menjadi katalisator kehidupan
demokrasi di era keterbukaan informasi. Bukan hanya pemilu 2019, drama
perpolitikan akan tetap menyimpan babak di masa yang akan datang. Akan tetapi, hoaks guna black campaign bukan lagi momok bagi
khalayak yang terliterasi. Khalayak memiliki kekuatan untuk menepis omong
kosong politik modern. Hoaks bukan sabda dan masyarakat bukan umat yang
membaiat diri pada paslon yang berlaga dalam perebutan kursi.
Comments
Post a Comment