Just For You " My Kaneki "
Konnichiwaa..Cie skrang pakai bahsa Jepang bhaks. Ini pengaruh sekarang aku lagi demen nonton anime. Dan iseng juga sih, terus coba buat FF Anime. Bukan Touka sama Kaneki, ini aku buat Hinami kkkk. Yoeh selamat membaca minna, yang udah baca, tingglankan komentar lah.
Just For You “My
Kaneki”
Hanya
terus mengamati,
Bayangmu
yang semakin jauh
Di
bawah jingga langit
Wajahmu
berubah temaram
Aku
menunduk saat kau mendongak
Berpaling
saat kau menoleh
Berharap
kau tidak pernah tahu
Tentang
sepenggal rasa
Tingginya
telah melampaui pagar. Kelopaknya mekar menyapa setiap yang memandang. Bagi
yang mau menjulurkan lehernya, maupun yang hanya sepintas lalu. Setangkai mawar
yang mekar dengan
anggunnya. Terpupuk penantian dan harapan. Walau kadang terpupuk kecemasan. Berjalan seperti biasa.
Selalu berdampingan antara harapan dan kecemasan. Antara kebisuan cinta, dan
bayangan yang berbisik.
Seperti sore sebelum dan sebelumnya. Seorang gadis duduk ditemani
secangkir teh. Asap yang mengepul dari cangkir, menandakan suhunya yang hampir
sama dengan hawa musim ini. Syal melilit leher jenjangnya. Suatu hal yang aneh,
bersyal saat cuaca sedang teriknya. Ia menyembunyikan sesuatu ... pasti! Poninya menggantung lunglai pada dahinya yang
menatap lantai. Kakinya bergerak dengan gelisah. Gerak-geriknya menyiratkan
bahwa ia sedang menunggu seseorang. Namun, jelas ia ingin bahwa orang yang
ditunggunya tersebut tidak merasa bahwa sang gadis menunggunya.
“ Kaneki-kun.” Ia
mendesis.
Mendongaklah ia sedikit . Namun lihai nian
wajahnya yang seakan-akan sempurna tertutup rambut tergerainya. Persis saat itu
juga, seorang anak lelaki berjalan dengan tenang. Melintas di sepanjang pagar. Ditaksir ia seumuran dengan gadis
itu. Angin sepoi menerbangkan beberapa anak rambutnya. Berlalu tanpa menyadari bahwa ada sepasang mata yang
dari tadi mengikutinya. Sepasang bola mata yang berbinar saat sosoknya datang.
Dua
puluh detik berlalu, anak lelaki itu telah lenyap dari pandangan. Beberapa
bunga yang gugur menyapu
tempat dimana ia melangkah tadi. Detik yang berharga. Gadis itu bangun dengan
segera, pipinya memerah. Sudah
pasti akibat kegerahan saat menunduk.
Ia
berlari seakan mengejar
ilusi. Lalu berhenti di balik pagar dan melongokkan kepalanya keluar. Senyumnya
merekah menatap punggung seseorang itu. Menemaninya
hingga punggung itu tak lagi nampak, bahkan bayangannya sekalipun. Ditelan
persimpangan jalan. Sesuatu meledak di
dalam dirinya. Kembang api yang memancarkan bunga kebahagiaan. Rasa apakah itu?
Ia sendiri enggan mengakuinya.
***
Tes,tes,tes.
Air mengucur dari ceret penyiram tanaman. Warna hijaunya hampir pudar. Mulai
usang, menandakan lamanya benda itu digunakan. Penyiram tanaman yang
menumpahkan air kehidupan untuk tanaman di bawahnya. Cat hijaunya luruh. Namun,
pudarnya pindah pada hijau daun bunga yang mulai kehilangan kuncupnya.
Sepersekian
detik, tetesan air mulai surut. Gadis itu tersenyum melihat bunganya. Nampak
elok. Dua biji bola matanya terpaku pada tanaman. Atmosfer halaman itu
tiba-tiba berubah. Angin menampar pipinya. Seseorang mendekat. Nampak gadis itu sangat gugup. Aura jambon
menyemburat.
“
Ohayou, Hinami-chan.”
Tuhan..
kalau saja Kaneki melihat. Jika saja gadis itu mau mengangkat kepalanya. Dapat
dipastikan lelaki berambut pirang itu akan melihatnya. Aura cinta yang
terpancar dari sorot berbinar dua biji bola mata itu. Gairah kekaguman akan
sosok yang selalu diimpikanya bersama mawar ini. Angin memekik.
~Satu
kelopak mekar, dan rasa itu semakin besar.
“
A..! Hai.” sedikit saja Hinami, mengangguk. Setitik kristal menembus hatinya.
Dingin nan menyegarkan, sangat kontras dengan angin yang menerbangkan beberapa
daun kering. Langkah itu menjauh, hanya beberapa meter. Namun bagi Hinami,
gadis dengan rambut coklat berombak itu, sosok Kaneki layaknya semerbak harum mawar yang hanya bisa ia
rasakan, mustahil untuk digenggam.
Hari ini, aku melihatnya kembali. Aku melihatnya, merasakan
sosoknya. Langkah kakinya, seperti dentuman yang meledak di hatiku. Ia
menyapaku. Tuhan... suaranya seperti siulan burung... yang lembut , menembus gendang telinga.“ Ohayou Hinami-chan,” Sudah cukup untuk
menciptakan sejuta kupu-kupu yang menari dalam perutku.
Bunga ini mulai kehilangan kuncupnya. Apakah kau melihatnya?
Satu kuncup mulai mekar.
Kaneki-kun? Apakah kau merasakanya?
***
“ Itte
kimasu!!~”
“ Itte
(i)rasshai!~”
Pagar
berderit, menandakan seseorang baru saja melaluinya. Aroma wangi menguar dari
sekuntum mawar yang ditanam tak jauh dari besi pembuka jalan itu. Tanpa pot,
akarnya langsung tertancap pada tanah dengan lapisan rumput. Mawar itu indah.
Siapa yang berani menyangkal keelokan paras merah yang menyala tersebut? Merah
yang menjadi lambang suci dalam suatu sengketa roman... Klise!!!
Apanya
yang spesial dari setangkai mawar yang ditanam di balik pagar? Menancapkan
pangkalnya pada bagian yang lebih rendah dari tanah di sekelilingnya. Hanya
setangkai, bukan serumpun. Memang indah, namun jangan menoleh pada mawar lain
di kebun yang lain. Diantara mawar lainnya,mungkin mawar di kebun Hinami bukanlah apa-apa. Namun di halaman yang
sepenuhnya hanya terlapisi rumpu gajah seperti ini, mawar yang hanya setangkai
itu bak mutiara di dasar laut yang kelam. Memancarkan warna lain, diantara
monoton aura yang ada.
***
“
Itadakimasu!!”
Beberapa
menit ke depan ruangan
ini akan dipenuhi kelontang alat makan yang berbenturan. Aroma masakan menguar
di setiap sudut . Semua fokus ke dalam piringnya masing-masing. Perbincangan
hanya terjadi di sela-sela waktu mengunyah. Beberapa saat angin masih bersiul
dengan santainya dan jarum waktu masih
berdenyut seperti biasanya.
“ Kaneki-kun...!” itu suara seorang gadis. Seorang
gadis berperawakan jangkung, dengan cara berjalan yang congkak menawan. Kakinya
mengarah pada meja yang berada di tengah. Langkah yang sangat elegan berirama,
bagaimana sang gadis dengan bangga mengatur tempo kakinya sedemikian rupa.
“
Aaa...Riza-chan. Ogenki desuka? ”
“Hai~ Genki desu.” amat manis gadis itu memamerkan
senyumnya. “ Boleh aku duduk di sini?”
“
Tentu, silahkan!”
Adakah
yang spesial dari langkah congkak menawan tersebut? Sehingga mengharuskan penulis
untuk menuliskannya? Sedangkan hampir seluruh mata di tempat itu tak ada yang
teralih dari piringnya.Bahkan kejadian serupa,oleh pelaku berbeda... juga sedang
terjadi di meja-meja lainnya. Hal tersebut bukanlah hal yang akan
menarik perhatian banyak orang, kecuali....
Di
suatu tempat ruangan itu, tepatnya di pojok sudut kiri. Hinami-chan, duduk
dengan pandangan nanar menatap ke bagian tengah ruangan.Menyaksikan opera singkat dengan adegan
yang menghunus. Orang-orang mulai
beranjak membawa nampan tanpa isi. Hinami masih dengan sumpit tergenggam tanpa
ada sebutir nasi yang berkurang. Seketika hidangan di depannya terasa hambar. Opera
itu terlalu miris untuk dilihatnya. Ia ingin menangis, tapi kenapa? Ia ingin
segera pergi dari tempatnya duduk. Tapi kakinya terpaku. Menunduklah ia,
bersitatap dengan kaki meja yang mengelupas peliturnya. Angin telah
menerbangkan harapan.
~Satu
kelopak gagal merekah!
***
~Kaneki-kun, ia...bersama Riza-chan.
Kau harus menyerah Hinami!
“
Hinami-chan, baik –baik saja? “ suara yang tak asing menyapanya. Gadis itu
tergagap.
“
Ah.. aih~ tak apa, aku baik-baik saja.” rona merah terpeta pada pipi Hinami. Ia
mendongak. Wajah itu... sosok yang selalu dinantinya. Sungguh... apa yang
dirasakanya sekarang? Malu? Marah? Senang ? Gadis itu sedang berperang melawan
emosinya.
Didepannya, Kaneki dengan santai
mengenyakan diri pada satu kursi di depan Hinami.
“
Waaaah... bukankah ini manga Like Yesterday”
“
Pernah baca First Meet at December, kau harus mencobanya sangat menarik.”
“
Aaa.. Hai..” merona lagi. Semburat kemerahan yang tak di kehendakinya.
“
Uhm... anu, Kaneki-kun... Apakah kau...”
“
Apakah aku? Kau mau bilang apa? “
“
Ah.. tidak. aku...
aku harus pergi. Konnichiwa.”
Gadis
itu beranjak, meningalkan nampannya yang masih penuh. Ia tergesa mengangkut
komik yang tadi dibawanya.
Tinggalah
Kaneki di meja itu. Sesuatu menarik perhatiannya. Secarik kertas. Pastilah
jatuh dari buku yang dibawa Hinami tadi.
Matanya mengamati gambar yang tertera di atas HVS tersebut. Sebuah sketsa
sederhana. Seorang anak lelaki dengan posisi berjalan, melintas di depan sebuah
gerbang. Ada setangkai bunga mawar tertanam di balik pagar. Tingginya belum sama
dengan pagar. Naas, mawar
itu tak mengusik indra penglihatanya yang menatap lurus.
Ia seakan tak menyadari keberadaan sepucuk mawar indah tersebut. Mawar itu
hampir mekar, namun satu pemandangan yang
menyedihkan. Satu kelopak telah tanggal. Tergeletak lunglai pada tanah berdebu
di bawahnya. Sangat disayangkan~
Kaneki
terdiam...mengamati
kertas dengan sketsa luka dari
setangkai mawar.
Warnanya masih pekat, gambar ini belum lama dibuat. Ada sesuatu yang tak asing
dari gambar itu. Ia mengamati lebih dalam sosok lelaki di dalamnya. Merasa
seolah dirinya adalah sosok dalam coretan pensil tersebut. Namun, rumah yang
ditanami setangkai mawar? Dimanakah itu?
***
Aku
seperti kehilangan suara
Tersapu
angin musim semi
Menyejukan
satu tempat kosong dalam hatiku
Satu
mimpiku telah tercipta
“ Bukankah Hinami-chan
jadi lebih senang membaca manga akhir-akhir ini?”
“ Ah...watashi, anu.. watashiwa hanya ingin mencoba hal
yang baru saja. Hobi.. yeah hanya sekedar hobi. Touka-chan, jangan berpikir
macam-macam, aku membaca manga karena keinginanku sendiri, bukan karena
seseorang.”
“ Seseorang? Tapi aku tidak mengatakan tentang
seseorang.” Touka mengubah nada bicaranya. Terdengar lebih menelisik.
Skak mat...semburat jambon terpeta pada pipi Hinami.
Gadis itu terbelalak, mulutnya terbuka hendak mengatakan sesuatu, namun
kemudian itu terkatup. Begitu terjadi secara berulang-ulang.
“ Haha.. tidak apa-apa Hinami-chan.” Touka berkata seraya menepuk-nepuk punggung Hinami. Yang ditepuk hanya tersenyum salah tingkah dan berkali-kali terbatuk karena tepukan di punggungnya.
“ Haha.. tidak apa-apa Hinami-chan.” Touka berkata seraya menepuk-nepuk punggung Hinami. Yang ditepuk hanya tersenyum salah tingkah dan berkali-kali terbatuk karena tepukan di punggungnya.
“ ah hai.” Rona pink itu belum hilang.
“ Ada yang bicara tentang manga? “ suara lain terdengar
diantara tempo tepukan Touka dan batuk-batuk Hinami. Serentak kegiatan menepuk
dan terbatuk tersebut terhenti. Bersama-sama mereka menengok ke arah asal
suara.
“ Kaneki-kun.” Hinami menunduk segera. Sesuatu kembali
mewarnai pipinya. Ia bersitatap dengan lantai. Kalau saja ia tidak menunduk,
silau matahari dari sela-sela ventilasi kelas pasti membuat rona nya semakin
kentara.
“ Hinami-chan menjadi pecinta manga.” Touka menyodorkan
sebuah komik ke hadapan Kaneki.Lelaki itu menerimanya. Tanganya kemudian lincah
membolak balik kertas dengan berbagai gambar di dalamnya. Sinar matanya
seketika berubah, tampak berbinar.
“ Shugoii. Ini salah satu manga favoritku. Ku pikir aku
jatuh cinta pada Mikaori,” matanya menangkap sosok tokoh utama pada salah satu
halaman.
Hinami mendongak sedikit. Tampaknya air mukanya sudah
dapat terkontrol.
“ Ah.. hai. ... sangat cantik, ceria dan tangguh.”
“ Sudahkah menonton animenya? Kalau belum, aku bisa
mengcopykannya, aku akan berikan pada Hinami-chan. Hinami-chan, pasti kau
suka.” Kaneki menampakkan kegembiraannya.
Sedikit, Hinami beranikan untuk menatap langsung pada dua biji bola mata Kaneki. Shugoi, indah sekali. Sesuatu bergumul dalam perutnya, seperti .....
Sedikit, Hinami beranikan untuk menatap langsung pada dua biji bola mata Kaneki. Shugoi, indah sekali. Sesuatu bergumul dalam perutnya, seperti .....
-sejuta kupu-kupu yang
mendesak ingin keluar.
“ Hai.. arigatou Kaneki-kun.”
***
Kaneki benar kembali. Kembali dengan flashdisk dan
animenya. Seakan ia membagikan salah satu kebahagiaannya kepada Hinami. Sebuah
harapan datang bersamaan dengan itu.
Kelopak yang tadinya gugur,
mulai merekah kembali. Menambal bagian kosong dengan impian baru.
Waktu masih memutar jarumnya, seiring halaman per halaman
bergambar itu tersibak. Mereka punya cerita sendiri. Cerita yang dibangun
dengan alur sedemikian rupa. Sebuah manga oleh wujud yang asli. Karakternya
sudah lama ada, hanya saling menyesuaikan dengan alur yang tak jelas ujungnya.
Hanya bergulir begitu saja. Alur yang membawa sebuah perasaan tersembunyi dari
tokohnya.
Dan satu!
Jangan pernah bertanya dimana letak klimaks, dan akhirnya....
***
Saat
sosokmu yang hanya bisa aku kagumi. Langkahmu yang tak bisa aku raih. Aku di
sini bersama setangkai mawar,
sebagai sketsa hati yang ku persiapkan. Menumbuhkannya dengan balutan luka.
Meratapinya saat satu persatu kelopak itu gugur. Menyiramnya dengan aku tak apa.
Pernahkah kau tahu? Mengapa aku menanamnya lebih rendah dari tanah di
sekelilingnya? Karena
pada awalnya aku ingin menumbuhkanya tanpa ada tahu. Mengantisipasi tumbuhnya
akan melampaui pagar. Aku takut itu terungkap.
Namun
satu kesalahan, aku terus memupuknya, menahan rasa sakit dalam balutan
keindahan. Menyalakan merahnya walau membakar.
Rasa
itu mulai nampak, beriringan dengan kelopaknya yang menyembul keluar. Merahnya menyala seiring terpetanya
rona pada pipi. Kau pasti melihatnya, mahkota yang merekah. Kau juga pasti
tahu, akan munculnya keindahan dari secarik rasa tak bersalah ini.
Hanya satu mawar bukan
serumpun. Karena aku hanya mempersiapkan satu rasa. Satu rasa, dan untuk satu
orang. Memfokuskan perhatian hanya pada setangkai keindahan yang menusuk.
Namun apakah kau juga tahu? Untuk
siapa rasa tersebut? Semu merah yang selalu kau tatap. Semburat jambon yang
selalu kau sapa. Mawar ini, sebagai setangkai rasa. Sketsa luka yang kadang
meranggaskan kelopak. Dibalut keanggunan dan sinar keelokan. Hanya untukmu
Kaneki-kun. Just for you ... My Kaneki.
***
Lelaki itu melangkah dengan tenang. Melewati guguran
sakura yang menari dengan siulan angin. Beberapa anak rambut ikut terbang.
Mawar.. aroma dari sebuah perasaan yang menyala. Kakinya
melambat, menyesuaikan dengan syaraf penciumannya yang terusik. Sekali.. ia
menghirup dalam-dalam. Membiarkan aroma nafas itu berbaur dengan oksigennya,
mengalir di setiap pembuluh darahnya.
Sesuatu berkilau di sampingnya. Sebuah warna merah yang
terkena pantulan sinar mentari pagi. Kaneki menengok. Setangkai mawar yang
mengintip malu-malu dari dalam pagar. Kelopaknya yang menyala, sekejab
mengalihkan perhatiannya. Ia tertegun menatap mekarnya bunga itu.
Mengingatkannya akan suatu hal. Namun apa?
Kemudian ia kembali melangkah membiarkan aroma itu
sebagai pengiring tempo kakinya. Memadukan siulan angin dengan ayunan
tangannya. Semakin nampak selaras, begitu mempesona.
Sosok itu berlalu~
Selalu,
ada sepasang mata. Sejoli dua biji bola mata yang ikut memadukan iringan
langkah kaki tersebut. Sebuah harapan yang menyala. Impian yang hanya boleh
berharap dalam diam. Sepasang bola mata itu selalu mengawasi, berharap bola
mata lain, dari sosok yang diharapkannya akan balik menatapnya. Menatapnya dengan
sinar yang sama.
Kali
ini ada yang luput dari pengawasannya.
Bola mata itu tak menangkap, tatkala tangan dari sosok itu membuka
sebuah lipatan. Sebuah kertas dengan sketsa.
Angin
mendesau menyiulkan tiga kata
“
Rumah mawar itu”
Comments
Post a Comment