KPOP Fans Fiction " Under The Rain"
Under
The Rain
Title: Under The Rain
Cast: Kim Jennie, Jiwon,
Hani,
Genre : romance.Happy
ending?maybe
Author: Greece
Desclaimer : silakan baca
.
Kim Jennie pov
Di bawah guyuran air hujan. Saat pertama kalinya kita
bertemu. Di bawah dua payung terkembang yang berjalan bersisihan. Kita dulu tak
saling mengenal. Hanya sapaan ringan berderu bersama hujan. Kecipak air yang
menjadi saksi perjumpaan dua hati. Geledar petir yang berikrar untuk
mengabadikan moment itu. Canda tawamu masih ku ingat. Bahkan setelah tiga tahun
lamanya. Masih terekam dengan jelas, percakapan itu. Dulu kita masih lugu,
masih belum mengenal satu sama lain.
Di bawah hujan juga, kau mengucapkanya. Mengumandangkan
janji untuk terus bersama. Saling menyilangkan kelingking sebagai simbol
bersatunya dua hati. Tak ada lagi payung terkembang. Air hujan berpacu mengenai
kepala kita. Saling berguguran bak siraman sakura di musim gugur. Tak ada lagi
payung. Mengapa? Karena kau bilang, payung yang terkembang hanya akan menutupi
kejadian yang berlangsung saat itu. Konyol memang, namun aku percaya. Biarlah
janji kebersamaan itu terucap. Biarkan langit menjadi saksi secara terbuka.
Hujan tak harus mengintip lagi untuk mengabadikan moment ini. Dingin memang,
namun kehangatan di hati seakan meredam hawa dingin yang menusuk.
Dan kini, di bawah guyuran hujan juga, aku berdiri. Masih
di tempat yang sama. Air saling berlomba menyergap tubuhku yang berada dalam
lingkupan payung. Air yang berlimpah ruah, mengucur dari mata air langit. Namun
tak ada petir. Tak ada kilatan bak lampu klise kamera untuk mengabadikan moment
ini. Bah.. memang moment apa yang harus di abadikan?
Dan... ya... hanya ada satu payung yang
terkembang saat in. Mengapa? yang jelas, bukan karena kita berdua berada dalam
satu balutan payung. Namun, karena hanya aku seoranglah yang berada disini.
Tanpa kau. Hanya ada satu payung. Aku merasa sendiri, sepi. Karena kau telah
pergi. hma
Jennie
pov end
Seorang
gadis muda berjalan tertatih tatih melangkahkan kakinya. Tubuhnya yang mungil
terbalut jaket woll yang tebal. Disaat orang saling menerobos untuk lari dari
amukan air hujan, ia bahkan berjalan sangat pelan. Seakan menikmati butiran air
hujan yang menjilat jilat pangkal mata kakinya. Ia tetap tenang, bahkan ketika
bibirnya telah membiru, dan tanganya kebas, licin pada permukaan gagang payung.
Ia mendengus sengau pada muda-mudi yang lewat dengan saling bercengkerama
bersama pasangan.
“ bah... aku pun pernah
merasakanya.” Ia berkata lirih sambil melempar pandangan sinis pada sepasang
kekasih yang berjalan saling rengkuh. Ada headset yang tersampir anggun di satu
telinga mereka masing – masing.
Gadis
itu sampai di tempat yang ditujunya. Di depan toko buku. Ada bangku terparkir sayu
di halamanya. Ia mendekati itu. dan
segera menempatkan diri di atasnya. Menanggalkan payung yang tadi dipakainya.
Dan mengenyakan diri, Jiwonbari menatap buliran air yang jatuh. Matanya
menerawang. ia seakan menatap reka ulang kejadian yang pernah berlangsung di
jalan itu, beberapa waktu silam.
*Flashback
on
Saat
itu bulan Juli seperti biasa, Tuhan sedang melimpahkan berkah bersama air hujan
yang turun. Di sebuah jalan yang lenggang, di depan toko buku. Ada sebuah
payung yang terkembang, meneduhkan sepasang kekasih di bawahnya. Melindungi
mereka dari terpaan badai di luar sana.
“ nuna.” Ujar sang namja.
“ wae, Jiwon-a ?” wanita
yang dipanggilnya menoleh. Sejenak ia mengalihkan dari diri dari jarum air
hujan di sampingnya.
“ Jennie nuna,kau ingat
pertemuan kita disini.? “ Jiwon menatap lekat-lekat mata coklat kekasihnya.
“ ne. Wae?” mata Jennie
terlihat berpendar dari pupil Jiwon.
“ ani,... uhm. Itu sangat
indah untuk dikenang ya..”
Jennie diam, ia tak
mengerti . mengapa tiba-tiba Jiwon menyoal pertemuan pertama mereka. Memang itu
hal yang wajar, namun ia menangkap getaran aneh dari cara bicara Jiwon.
“ NUNA.” Jiwon bicara
lebih keras. Daritadi ia memerhatikan Jennie yang menunduk.
“ oh.. iya, kenangan yang
sangat indah.” Jennie tersenyum
“ apa kau benar-benar
mencintaiku nuna?”
“ mwo? Setelah lama kita
bersama, apa aku harus menjawab pertanyaan konyolmu itu? setelah Jiwonua hal
yang kita lalui bersama, janji yang dulu kita ucapkan. Apa kau pikir itu hanya
lelucon? Yak Jiwon. Neo micheoseo? Apa hal itu kurang jelas dimatamu?” Jennie berkata
cepat. Nafasnya memburu. Ia hampir menangis.
“ ani. Aku hanya
bergurau..” Ia tertawa, tawa Jiwon seakan mengandung pesan tersirat. Lalu....
bagaimana jika aku pergi? Apa kau akan melepas Jiwonua cintamu itu nuna?”
lagi-lagi Jiwon menanyakan hal yang membuat Jennie Jiwonakin pusing.
“ mwo? Pergi? Kau akan
pergi Jiwon-a?” Kata Jennie terbata-bata. Hujan di luar sana Jiwonakin menderu.
Membuat desingan aneh di sekitar gendang telinganya.
“ Mungkin.” Namja itu
menunduk.
“ eodi? Berapa lama? Wae?”
“ eodi? Berapa lama? Wae?”
“ ke suatu tempat yang
aku tak bisa menjelaskanya. Aku tak tahu berapa lama itu. dan karena aku
harus.” Ia menjawab Jiwonua pertanyaan yang dilontarkan Jennie.
Yeoja itu tercengang. Ia merasa tertampar atas kata-kata
yang dilayangkan Jiwon barusan.
“ apakah kau akan
kembali?” Jennie mulai terisak-isak. Ia mengelap sudut matanya dengan tangan
yang kebas.
“ entah. Aku tak bisa
menjawabnya. Maafkan aku.”
“ kau akan
meninggalkanku? Sendiri? Kau akan melepas Jiwonua janji itu Jiwon-a? Apa kau
sudah tak mencintaiku?”
“ aku tak ingin
menginggalkanmu nuna. Sungguh. Tidak, janji itu masih akan ku jaga. Aku masih
mencintaimu nuna. Sangat. Namun kau tahu, aku harus pergi. Ke tempat yang tak
bisa ku jelaskan, dan dalam waktu yang aku sendiri pun tak tahu.”
“ kapan kau akan pergi?
Kau mau ku antar ? boleh aku bersamamu sebelum kau pergi?”
“ sekarang... Jangan
mencariku besok pagi atau seterusnya, aku akan kembali entah kapan”
“ Jiwon ya. Neo micheoseo?”
Jennie berteriak teriak. Gadis itu kalap. Tak henti henti ia melayangkan
pukulan pada bahu namja di depanya. Sebelum kemudian ia meneggelamkan wajahnya
pada dada namja itu. Jiwon membalasnya. Ia memberikan satu rengkuhan lembut
pada punggung Jennie. Dan mengelusnya perlahan.
“ mianhae nuna. Mianhae.”
Jennie
bangun, ia menatap sendu wajah di depannya. Ia sudah tak sanggup lagi
berkata-kata. Tiba tiba, Jiwon mengangkat tanganya, ia memindahkan gagang
payung yang tadi dipeganya kepada Jennie. Jennie menerimanya dengan pandangan
tak mengerti. Kemudian Jiwon memberikan
satu kecupan mungil pada dahi Jennie.
“
Annyeong.” Ia melambaikan tangan dan segera berjalan keluar dari lingkupan
payung. Ia berlari menerobos badai didepanya. Tanpa menoleh. Meninggalkan Jennie
yang menangis di bawah naungan rintik hujan. Jiwonua itu terjadi begitu saja.
Cepat. Sangat aneh. perpisahan yang tidak bakalan ia bayangkan. Tanpa alasan
yang jelas.
*flashback off.
Seperti itulah keadaanya saat ini. sendiri, hanya
ditemani kesunyian. Ia tersenyum, namun pasti hatinya sangat perih. Jiwonbilu
itu, menghunus lagi. bahkan dinginya angin saat ini, tak lebih terasa dibanding
tusukan rindu yang kian menghujam.
Tiba-tiba , ia mendengar suara lonceng dari toko buku.
Seorang laki-laki keluar dari sana. Ia memakai jaket kulit tebal dan kacamata.
Menatap sekilas kepada Jennie sebelum berlalu menerobos hujan yang kian
menggila.
***
Pendar sinar matahari pagi ini belum terlalu menyilaukan
mata. Mungkin akibat hujan kemarin seharian penuh. Jiwon mengerjap-ejapkan
matanya yang setengah terbuka. Ia menyibak selimut biru yang Jiwonalaman
menghangatkannya. Dan menatap nanar pada dinding kamarnya yang bernaungkan
lampu neon itu. Ada secercah sinar yang mengintip dari sela-sela gorden yang
menggantung di samping dipannya. Segera ia bangkit dan melangkah ke arah
jendela dan membuka gorden yang menutupinya. Membiarkan sinar itu leluasa untuk
berkeliling ke dalam ruangan itu. Jiwon menatap ke luar. Jiwonua masih terlihat
sama. Pot tanaman yang ada di bawah kamarnya, hanya pohon ek yang terlihat Jiwonakin
tinggi sejak kepergianya. Ya.. ia telah kembali. Jiwon telah kembali.
***
Jennie
melangkahkan kakinya keluar kamar. Pussy, kucing kesayanganya masih meringkuk
di sofa ruang tamu. Hewan itu bergelung sehingga ekornya hampir mengenai
hidungnya yang pesek. Jennie berjalan ke arah sofa. Ia mengangkat hewan mungil
itu dan memainkan ekornya. Pussy menggeliat. Ia merasa seseorang mengganggu
tidurnya. Dengan eongan keras ia meloncat dari pangkuan Jennie dan menghilang
di balik pintu.
“
bah.. bahkan kucing pun meninggalkanku.” Jennie mendengus. Ia menatap lamat-lamat
celah pintu yang dilewati pussy. Sedetik kemudian,Ia merebahkan diri di sofa.Jennie
memejamkan matanya. Ia mencoba untuk tidur, namun sia-sia, lagi-lagi matanya
menolak untuk terlelap, beberapadetik kemudian ia hanya sibuk mengedip-edipkan
mata. Sejenak ia berhenti dari kesibukanya. Jennie lalu hanya diam,
memerhatikan langit-langit rumahnya. Tanpa ia sadari,setitik cairan bening
berdesakan keluar dari pelupuk matanya. Asin.. ia merasakan, saat cairan itu
merembes melalui pojok bibirnya. Jennie sudah mengangkat tangannya, guna
menghapus air mata yang menganak sungai itu. Namun, diurungkanya lagi. inilah
yang sejak lama ia tahan, ia membiarkan cairan itu meluncur dengan mulus. Air
mata yang ia tahan sejak kepergian tanpa alasan Jiwon. Air mata penantian yang
ia tak tahu dimana ujungnya. Ia merasakan dadanya sesak, ia terisak-isak, namun
hanya isak kering yang terdengar. Kemudian ia memutuskan untuk diam. Sesaat,
ruangan berluas .....x.....itu terlihat begitu lengang. Namun, deritan di pintu
menandakan bahwa seseorang baru saja masuk.
“
Nugu?” Jennie berkata keras
“
Nayaaa....” suara seorang perempuan.
“
aaah... hani-ya.” Ujar Jennie. Segera ia bangkit dari duduknya, dan
menyambut kedatangan hani. Tergesa, ia
mengusap kedua mata dan pipinya, namun Jiwonbab merah masih terpeta dengan
jelas wajah tirusnya.
“
igeo,” kata hani, Jiwonbari meletakan plastik berisi bir ke atas meja. Dengan
santai, ia meraih satu botol, dan menghenyakan diri di atas sofa. “ aku tak
membeli ayam, maaf. Hmm... mungkin lain kali. Aku terlalu malas untuk
mengantri. Ehehhe.”
“
gwenchana, bir ini tak akan berubah rasa walau tanpa hip-hop chikin.” Jennie
mencoba menyamarkan kesedihanya dengan gurauan kecil. Ia berjalan ke arah tv
dan menyalakannya.
“
aaah..kau salah,bir ini terasa hambar tanpa hip-hop chikin.”hani berkata seraya
mengangkat tinggi kaleng bir, dan mengguncangkanya.
“
heleh kau ini... tambahkan saja garam ke dalam bir mu jika terasa hambar.” Ujar
Jennie santai.
Klik...Jennie memencet tombol remot,dan
muncullah acara komedi. Ia mengamatinya sebentar.
“kau
menangis.wae?” ucap Hani tiba-tiba.
Klik..kini
berita pembullyan teman sekolah muncul dihadapanya.
“ani..jangan
terlalu risaukan hal itu. hanya sekedar kelelahan hati.”
Klik..satu
lagi acara televisi yang terlewati.
“
Jiwon... namja itu, kau masih menantikanya?”
Mendengar
nama itu disebut, Jennie diam. Tanganya terasa kaku walau hanya untuk menekan
tombol.
Klik...Jennie
kembali menekan tombol remot dalam satu helaan nafas. Ia berjalan gontai menuju
sofa,dan terduduk. “ aku lelah,menantikanya. Namun,aku masih berharap.” Ia
meraih satu kaleng dan membukanya. Sedikit buih menyembur, Jennie mengamatinya
serius.bagaimana kumpulan gelembung mungil itu meluncur di pergelangan
tanganya. Dalam satu tegukan,ia memindahkan air berbuih itu ke tenggorokanya.” Ahh..”
“
jangan terlalu memaksakan diri, buat apa kau menantikan sesuatu yang tak
pasti?apakau yakin Jiwonua akan berbuah kebahagiaan? Bagaimana jika luka yang
akan menyambutmu eh?”
“
nan molla.”
“
apa kau mau menghabiskan sisa umurmu untuk menantinya?dan menutup hatimu
rapat-rapat? Apakah kau tak mau membukanya?walau hanya setitik celah?”
“nan
molla.”
“
ayolah.. kau bisa melupakanya. Kau mau ikut dengan ku?”
“
apa?”
“
kencan buta.”
“mwo?”
Jennie tersentak,hampir saja ia memuntahkan kembali bir yang ada di mulutnya.
“
wae? Bukankah itu biasa? Cobalah.. mungkin kau bisa menemukan seseorang yang
cocok.”
“
ya mungkin saja. Ahahaha.” Jennie tersenyum kecut.
***
Bulan Juli, akhirnya aku bertemu bulan ini di tempat ini
lagi. Aku berhenti mengamati bangunan yang amat ku kenal ini. Mataku menelisik
sekitar. Aroma basah bulan Juli memenuhi rongga hidungku. Aku dekati pintu
bangunan tersebut. Melongok dari balik pintu untuk mencari sesuatu. Ku eratkan
jaket wol yang membungkus badanku. Ingin rasanya aku melangkah ke dalam. Namun,
sesuatu menahanku untuk tetap berada di depan pintu kaca. Hanya mataku yang
aktif menelisik keadaan dalam bangunan. Aku masih mengingatnya dengan jelas. Tumpukan
buku itu Jiwonakin tinggi saja. Masihkah misteri Han Seol belum terpecahkan?
Sepertinya
mereka telah mengganti warna cat dindingnya. Ah.. mengapa harus menggantinya?
Bukankah warna hijau itu lebih meneduhkan daripada oranye seperti ini?
Aroma
coffe ini mengusik indar penciumanku. Khas sekali. Aku menerawang masa lalu.
Sekilas aku menoleh pada cafe di sebelah bangunan ini. Pukul 09.30 cafe itu
baru saja buka. Lupakan cafe itu , kau harus segera menemukannya.
Aku kembali memfokuskan pandangan pada
perpustakaan itu. Mungkinkah dia tidak kemari?
Ada
siluet bayangan yang terpantul dari kaca pintu ini. Aku mengamati bayangannya lekat-lekat.
Sepertinya aku mengenal sosok itu. Rambut panjangnya, caranya berjalan. Mataku
mengikuti langkahnya. Cara berjalan itu, langkah yang sedikit tergesa. Gadis
itu berjinjit mengindari genangan air. Ia mengehentakkan kakinya setelah
genangan air itu terlewati.
Namun,
mungkinkah itu seseorang yang kucari? Segera aku mengenyahkan pikiran itu,
mengingat Jennie nuna bukan tipe gadis yang suka memakai sepatu berhak tinggi.
Aku tertawa membayangkan kakinya dipaksa untuk menjadi lebih tinggi diluar
biasanya.
Segera
ku berbalik menghadap jalan. Pemilik bayangan itu telah raib. Ia meninggalkan
jejak hak sepatu pada jalan becek itu. Mungkin Jennie nuna akan kemari
besok.Aku memutuskan untuk kembali esok.
pov
end
***
Bulan
Juli, akhirnya gadis itu menyapa bulan ini di tempat ini lagi. Gadis itu
berjalan tergesa. Ini pertama kalinya ia ikut pengalaman konyol sejenis kencan
buta. Ia telah berdandan habis-habisan untuk moment aneh ini. Berkali-kali ia
mengganti baju dan mematutkan diri depan cermin. Ia membiarkan rambutnya
tergerai.
Pukul 10.00 aku menunggumu di kafe
The Star.Jangan terlambat Jennie Kim!
Ia baca kembali pesan dari pasangan kencannya, Kim
Donghyuk.
The Star Caffe,
terletak 10 meter setelah perpustakaan. Jennie melangkahkan kakinya tergesa.
Sepatu hak ini membuatnya berjalan ketimpangan. Ia melewati perpustakaan. Ia
menoleh sambil berlalu. Tampak seorang namja berdiri di depan pintu
perpustakaan. Ia melongok dari balik pintu untuk mencari
sesuatu. Ia eratkan jaket wol yang membungkus badannya. Tak ada aktivitas lain
yang dilakukannya selain menatap ke dalam gedung perpustakaan.
Ada yang tidak beres dengan namja ini, apakah
ia mencari seseorang? Pikir Jennie. Segera ia membuang ketidakberesan pada
namja itu. Langkahnya terseok tatkala ia harus beradu dengan genangan sisa
hujan. Gadis itu berjinjit mengindari genangan air. Ia mengehentakkan kakinya
setelah genangan air itu terlewati. Sejurus kemudian, kakinya membawanya menuju
The Star Cafe.
***
Ini
dia, The Star Cafe, mataku berbinar menatap papan yang terpampang di atap cafe
ini. Pelan, aku melangkahkan kaki memasuki bangunan bergaya luar angkasa ini.
Aroma kopi menguar menelisik syaraf-syaraf indra penciumanku. Aku menajamkan
pandangan ke setiap meja. Bola mataku menyapu seluruh ruangan. Namun nihil, tak
ada sinyal keberadaan seseorang yang kumaksud.
“
Mencari seseorang?” Seorang pelayan menyapaku. “ Anda bisa memesan meja dulu Jiwonbari
menuggunya.” Ia berkata ramah. Aku menatap tulisan nama di dada sebelah
kirinya, Lee Hayi. Yeoja berperawakan gempal itu menuntunku ke salah satu meja.
“
Terimakasih, aku akan duduk disini.” Kataku menunjuk meja di dekat dinding
kaca.
“
Baiklah, kau mau memesan sesuatu?” Ia berkata ramah.
“
Uhm...
Diluar
sana, mega mulai berarak. Membentuk formasi gelayut pada langit yang tak siap
kedatangan tamu. Aku menatap nanar pada parade langit yang tengah berlangsung.
Bintang tamu akan segera tiba. Benar saja, ‘bintang’ yang menjadi lakon itu
mulai menampakan diri. Mulanya hanya setetes. Lalu beruntun. Jiwonacam peluru
yang mendesing ke bumi.
Rinai
hujan di bulan Juli. Rinai hujan yang membungkus kenangan. Rinai hujan yang
membalut rindu. Rinai hujan yang...yang menguak masa lalu.
Aku
tersadar, tak ada lagi kepulan asap dari cangkir di depanku. Aku melongok ke
dalam cekungan porselen itu. Isinya juga telah tandas. Namun hujan di luar sana
belum mengering. Embun terbentuk di permukaan dinding kaca. Aku menengok layar
handphone. Pukul 10.30. Tigapuluh menit sudah jarum jam itu merangkak. Singgah dari
angka lima ke angka tiga puluh. Dan Donghyuk belum menampakan diri. Aku menatap
sepatu berhak di kakiku. Rasanya sia-sia aku merelakan anggota tubuhku untuk
bersentuhan dengan sesuatu yang tak membuatnya nyaman. Haruskah aku menunggunya
sedikit lebih lama? Sungguh menyebalkan menunggu 30 menit untuk sebuah
ketidakpastian. Aku berkali-kali mengetuk meja dengan tempo yang tak beraturan
untuk menyamarkan rasa bosan.
***
Tak
ada lagi kepulan asap dari cangkir di depannya. Jennie melongok ke dalam
cekungan porselen itu. Isinya juga telah tandas. Namun hujan di luar sana belum
mengering. Embun terbentuk di permukaan dinding kaca. Ia menengok layar
handphone. Pukul 10.30. Tigapuluh menit sudah jarum jam itu merangkak. Singgah
dari angka lima ke angka tiga puluh. Dan orang yang ditunggunya belum
menampakan diri.
Gadis
itu duduk dengan resah. Ketukan tak bertempo menandakan bahwa ia tengah merasa
bosan. 30 puluh menit ia mengenyakan diri. Menungggu untuk sebuah
ketidakpastian. Dan beradu pandang dengan tetes hujan di balik kaca. Ia menatap
pada blur bayangan dirinya. Ia tidak menyadari bahwa ia telah melakukan
penantian yang lebih lama dari 30 menit. 30 menit yang membuatnya mengetuk tak
bertempo meja didepannya. 30 menit yang membuatnya menggaruk kepala yang tak
gatal. 30 menit yang tak sebanding dengan penantian lain yang telah dilakukannya.
Penantian
tiga tahun lamanya. Namun ia bertahan untuk penantian itu. Tak ada garukan
ataupun ketukan tak bertempo. Satu yang membuatnya bertahan, keyakinan.
Keyakinan bahwa namja bermata sipit itu akan kembali. Ia mungkin akan kembali.
Tidak. Ia pasti kembali.
Pukul
11.00. 30 menit itu sudah melipat gandakan dirinya. Jennie telah mencapai titik
dimana bukan bosan lagi ia menyebutnya. Lelah. Ia harus berhenti. Tungkainya
juga harus berhenti menahan perihnya ruam kemerahan akibat sepatu berhak itu.
Persetan dengan Donghyuk. Apakah namja itu akan datang nanti, Jennie sudah
tidak peduli. Satu jam sudah cukup untuk membuatnya menjadi makhluk
antisimpati.
Jennie
berkemas dengan segera. Meninggalkan ampas minumnya tergeletak di atas meja. Ia
berhenti di ambang pintu. Payung yang ia bawa segera terkembang. Mendongaklah
ia, menatap lekat-lekat air yang menetes dari atap cafe. Ia harus bergegas,
atau badannya akan basah kuyup bahkan sebelum kakinya menginjak teras rumah.
***
Jennie
pov
Hujan
ini seakan tak memberi sinyal akan reda. Kuyakinkan diri bahwa dengan berdiri
di ambang pintu ini tak akan membuat air itu berhenti menetes. Segera
kukembangkan payung yang ada di tangan. Aku harus bergegas, atau badanku akan
basah kuyup bahkan sebelum kaki ini menginjak teras rumah.
Ku biarkan kakiku terayun membawa ku
menembus hujan di depan. Seketika hawa dingin merujam menelisik sela-sela pori
di kulitku. Aku bergidik. Jiwonakin kupererat pegangan pada gagang payung yang
licin ini. Aku merasakan tanganku mulai
kebas.
Jalan sepi ini berhiaskan backsound suara
hujan. Aku melangkah pelan, takut terpeleset. Sekali lagi, menikmati tetes air
yang menjilat pangkal mata kaki. Aku berhenti di depan perpustakaan. Namja tadi
sudah tak ada. Sudahlah, berdiri di tempat ini, saat hujan, hanya akan menguak
kenangan itu. Aku memutuskan untuk kembali beradu dengan genangan air. Kakiku
kembali melangkah.
Pov End
***
Gagang payung di tangannya Jiwonakin
licin. Jiwonakin ia pererat agar payungnya tak tertiup angin. Jennie bergidik.
Angin berhembus kencang. Menerbangkan rambutnya yang tergerai. Sejenak Jennie
berhenti di depan gedung perpustakaan. Dua biji matanya menelisik halaman
perpustakaan. Namja tadi sudah tak ada. Sudahlah, berdiri di tempat ini, saat
hujan, hanya akan menguak kenangan itu. Jennie memutuskan untuk kembali beradu
dengan genangan air. Kakinya kembali melangkah.
Sekali lagi, angin kasar berhembus.
Payungnya hampir terlepas dari pegangan. Cengkeraman pada gagangnya Jiwonakin
ia pererat. Ia sangat berhati-hati dengan payungnya. Hingga tak menyadari ada
seseorang yang tengah mengikutinya. Begitu lihainya namja itu menyembunyikan
kecipak kakinya. Jika dilihat dari langkahnya, ia bahkan tak berjingkat.
Kakinya berayun biasa. Anehnya, Jennie tak menyadari kehadiran pihak kedua di
belakangnya.
Hujan tak sederas tadi. Angin juga tak
bersiul sekencang beberapa saat lalu. Namun, ada sesuatu yang lebih kuat dari
angin ataupun hujan untuk membuat Jennie melepas cengkramannya. Sergap, Jennie
berbalik. Seseorang telah mengambil alih payung di tanganya. Air mengucur
melalui ubun-ubunnya. Gadis itu terpaku menatap seseorang yang kini berdiri di
depannya. Buliran air hujan menampar pipinya yang kemerahan. Diggitnya bibir
yang mulai membiru itu. Pupil matanya membulat seiring senyum namja itu.
“
N..Neo.” Jennie menggigil. Diusap
wajahnya untuk memperjelas penglihatanya.
“ Na..ya. Jiwon. Ingat?” Jiwon tersenyum.
Senyum yang sama.Mata sipitnya terJiwonbunyi saat lengkungan bibirnya
terbentuk. Menampakan gigi kelincinya yang menyembul. Sesuatu bergemuruh dalam
diri Jennie. Kebahagiaan, kemarahan, rindu, Jiwonua menggelegak. Ia tengah beradu
dengan emosinya. Jiwon menarik Jennie ke dalam rengkuhannya. Memeluk erat tubuh
kecil dalam dekapannya. Pelan, ia memberikan sapuan lembut pada punggung gadis
itu.
Yang dipeluk terisak. Membenamkan
dalam-dalam wajahnya pada dada namja ini.
Jennie memberikan remasan kuat pada jaket yang dikenakan Jiwon.
“ Nappeun. Nappeun.” Ia berkata di
sela-sela isaknya. Jennie Jiwonakin mempererat pelukannya. Penantian tiga tahun
kini telah terbayar. Tiga tahun lamanya ia harus berkutat dengan penantian.
Jiwon melepaskan dekapanya pada gadis itu.
Menatap tubuh yang kini basah kuyup di depannya. Namja bermata sipit itu
memberikan seringai usil. “ kau nampak lebih tinggi nuna.” Matanya menyipit
pada sepatu berhak yang terpasang di kaki Jennie. Bukannya Jennie tak cocok
mengenakan sepatu seperti itu. Hanya saja, tampak lucu sekali melihatnya
berdiri ketimpangan seperti itu. Jennie mengerucutkan bibirnya sebagai balasan
atas kalimat Jiwon barusan. Jelas gadis itu terlihat sebal.
Jiwon menyingkirkan rambut yang menjuntai
pada dahi gadisnya. Kulit itu mulai kedinginan. Tulang pada wajah tirus Jennie,
terlihat Jiwonakin kaku. Jiwon tahu, yeoja itu sedang berusaha menyembunyikan
rasa dingin. Jennie menggigit bibirnya. Giginya nampak bergemeletuk pada
bibirnya yang pucat.
“ Kau kedinginan.”
“ Jangan risaukan.” Gadis itu bergumam
pelan. Menunduk.
Jiwon mendekat. Ia mengulurkan tangan
untuk mengangkat wajah sayu Jennie. Menempelkan kedua tangannya masing-masing
pada pipi gadis yang berJiwonu itu. Jiwonburat jambon, menandakan bahwa gadis
itu tengah menahan malu. Jiwon mengecupnya. Memberikan satu sapuan lembut pada
bibirnya yang membiru. Gadis itu membalasnya. Wajahnya yang pucat berangsur
berwarna. Kecupan itu seakan telah mengelupas pucatnya kulit sayu yang telah
mengerak lama. Warna merah muda menyemburat dari kedua pipi gadis ini. Bibir
kedua pasangan ini beradu dengan lihainya. Seakan sudah sering mereka
melakukanya.
“ Gomawo.” Ucap namja itu
setelah melepas tautannya.
“ Untuk apa?”
“ Untuk menungguku.”
Jennie tersenyum. Manis, hal itu yang
mampu mendeskripsikan rupa wajahnya saat ini. Ia berkata setelahnya “ Gomawo.”
“ Untuk apa?”
“ Untuk kembali kepadaku.”
Jiwon ikut mengembangkan senyumnya
mendengar pernyataan Jennie.
“ Siap memecahkan misteri itu, Han Seol-ssi?” Jiwon tertawa menggoda. Ia menyebut Jennie sebagai tokoh wanita dalam novel berjudul Outsider, karangan Guiyeon.
“ Siap memecahkan misteri itu, Han Seol-ssi?” Jiwon tertawa menggoda. Ia menyebut Jennie sebagai tokoh wanita dalam novel berjudul Outsider, karangan Guiyeon.
“ Tentu saja Ha Ru-ssi.” Balasnya. Jennie
menyebut Jiwon sebagai Ha Ru . Ialah
tokoh yang disukai oleh Han Seol. Diceritakan bahwa Ha Ru adalah seorang dengan
pembawaan misterius dan dingin. Namun, karena itulah Ha Seol menaruh hati pada
namja itu. Namun, di balik itu, Eun Chan lah namja yang mempunyai perasaan pada
Han Seol.
Jiwon mengenyitkan dahi. “ Wae Ha Ru? Nan
Eun Chan.”
“ Haha.. tapi aku menyukai Ha Ru. Dan kau
harus menjadi Ha Ru, Jiwon-ssi.” Ucap Jennie berlagak serius. Padahal jelas
tadi ia tengah tertawa
“
Kau menyukai namja dingin. Bukankah ada Eun Chan yang lebih memerhatikan Han
Seol?”
“ Ingat drama yangs sering diputar? Namja
yang tak acuh yang biasanya mendapat cinta gadis itu.” Jennie berkata
menggurui.
“ Baiklah, aku akan menggantinya, aku akan
menjadi Eun Chan yang mendapatkan hati
Han Seol.”
“ Bagaimana bisa? Yaaak. Kim Jiwon... Kau
bukan Guiyeon. Mana bisa kau mengganti alurnya begitu saja?” Jennie memberikan
cubitan kecil pada lengan pria itu. Jiwon meringis.
“ Aku bisa. Hahaha.”
Lalu keduanya tertawa. Saling menyangkal
kelanjutan kisah Han Seol dan misterinya . Memperdebatkan hal yang tak perlu di
debatkan. Memperbincangkan kisah yang terjadi selama perpisahan. Bak drama
musical dengan backsound tetes air hujan.
***
Prolog
Di
bawah guyuran air hujan. Saat pertama kalinya kita bertemu. Di bawah dua payung
terkembang yang berjalan bersisihan. Di bawah hujan juga, kau kembali. Kembali
dengan janji untuk bersama lagi. Kembali untuk menyambung kisah yang Jiwonpat
terpotong. Melanjutkan serpihan puzzle yang pernah tercecer. Masih ada pelangi
setelah hujan. Masih ada tawa yang akan berlanjut untuk meneringkan air mata.
Di
pertengahan bulan Juli. Saatnya meninggalkan hawa menyengat di musim panas.
Menyambut rinai hujan. Mengucapkan salam perpisahan pada hawa lembab di musim
lalu. Aku mengucapkan selamat datang pada langit yang bertabur hujan.
Melambaikan tangan pada payung yang terkembang. Hujan selalu membawa cerita, pada
siapapun yang pernah menyentuh dinginnya tetes air itu. Dan inilah kisahku. Kisah dalam balutan
penantian beratapkan rinai hujan. Under The Rain.
TAMAT
ASEK :v
BAPER TAHEK --____--
Demi apa, buat ff Jennie
sama Jiwon :V Kesambet apaan? Wahahahahahahah :V
Adududu.
Bersiap buat FF selanjutnya asek :V
Comments
Post a Comment