KPOP Fans Fiction " Under The Rain"



                                              
  Under The Rain
Title: Under The Rain
Cast: Kim Jennie, Jiwon, Hani,
Genre : romance.Happy ending?maybe
Author: Greece
Desclaimer : silakan baca .
                                                       
Kim Jennie pov
            Di bawah guyuran air hujan. Saat pertama kalinya kita bertemu. Di bawah dua payung terkembang yang berjalan bersisihan. Kita dulu tak saling mengenal. Hanya sapaan ringan berderu bersama hujan. Kecipak air yang menjadi saksi perjumpaan dua hati. Geledar petir yang berikrar untuk mengabadikan moment itu. Canda tawamu masih ku ingat. Bahkan setelah tiga tahun lamanya. Masih terekam dengan jelas, percakapan itu. Dulu kita masih lugu, masih belum mengenal satu sama lain.
            Di bawah hujan juga, kau mengucapkanya. Mengumandangkan janji untuk terus bersama. Saling menyilangkan kelingking sebagai simbol bersatunya dua hati. Tak ada lagi payung terkembang. Air hujan berpacu mengenai kepala kita. Saling berguguran bak siraman sakura di musim gugur. Tak ada lagi payung. Mengapa? Karena kau bilang, payung yang terkembang hanya akan menutupi kejadian yang berlangsung saat itu. Konyol memang, namun aku percaya. Biarlah janji kebersamaan itu terucap. Biarkan langit menjadi saksi secara terbuka. Hujan tak harus mengintip lagi untuk mengabadikan moment ini. Dingin memang, namun kehangatan di hati seakan meredam hawa dingin yang menusuk.
            Dan kini, di bawah guyuran hujan juga, aku berdiri. Masih di tempat yang sama. Air saling berlomba menyergap tubuhku yang berada dalam lingkupan payung. Air yang berlimpah ruah, mengucur dari mata air langit. Namun tak ada petir. Tak ada kilatan bak lampu klise kamera untuk mengabadikan moment ini. Bah.. memang moment apa yang harus di abadikan?
 Dan... ya... hanya ada satu payung yang terkembang saat in. Mengapa? yang jelas, bukan karena kita berdua berada dalam satu balutan payung. Namun, karena hanya aku seoranglah yang berada disini. Tanpa kau. Hanya ada satu payung. Aku merasa sendiri, sepi. Karena kau telah pergi. hma
Jennie pov end
Seorang gadis muda berjalan tertatih tatih melangkahkan kakinya. Tubuhnya yang mungil terbalut jaket woll yang tebal. Disaat orang saling menerobos untuk lari dari amukan air hujan, ia bahkan berjalan sangat pelan. Seakan menikmati butiran air hujan yang menjilat jilat pangkal mata kakinya. Ia tetap tenang, bahkan ketika bibirnya telah membiru, dan tanganya kebas, licin pada permukaan gagang payung. Ia mendengus sengau pada muda-mudi yang lewat dengan saling bercengkerama bersama pasangan.
“ bah... aku pun pernah merasakanya.” Ia berkata lirih sambil melempar pandangan sinis pada sepasang kekasih yang berjalan saling rengkuh. Ada headset yang tersampir anggun di satu telinga mereka masing – masing.
Gadis itu sampai di tempat yang ditujunya. Di depan toko buku. Ada bangku terparkir sayu  di halamanya. Ia mendekati itu. dan segera menempatkan diri di atasnya. Menanggalkan payung yang tadi dipakainya. Dan mengenyakan diri, Jiwonbari menatap buliran air yang jatuh. Matanya menerawang. ia seakan menatap reka ulang kejadian yang pernah berlangsung di jalan itu, beberapa waktu silam.
*Flashback on
Saat itu bulan Juli seperti biasa, Tuhan sedang melimpahkan berkah bersama air hujan yang turun. Di sebuah jalan yang lenggang, di depan toko buku. Ada sebuah payung yang terkembang, meneduhkan sepasang kekasih di bawahnya. Melindungi mereka dari terpaan badai di luar sana.
“ nuna.” Ujar sang namja.
“ wae, Jiwon-a ?” wanita yang dipanggilnya menoleh. Sejenak ia mengalihkan dari diri dari jarum air hujan di sampingnya.
“ Jennie nuna,kau ingat pertemuan kita disini.? “ Jiwon menatap lekat-lekat mata coklat kekasihnya.
“ ne. Wae?” mata Jennie terlihat berpendar dari pupil Jiwon.
“ ani,... uhm. Itu sangat indah untuk dikenang ya..”
Jennie diam, ia tak mengerti . mengapa tiba-tiba Jiwon menyoal pertemuan pertama mereka. Memang itu hal yang wajar, namun ia menangkap getaran aneh dari cara bicara Jiwon.
“ NUNA.” Jiwon bicara lebih keras. Daritadi ia memerhatikan Jennie yang menunduk.
“ oh.. iya, kenangan yang sangat indah.” Jennie tersenyum
“ apa kau benar-benar mencintaiku nuna?”
“ mwo? Setelah lama kita bersama, apa aku harus menjawab pertanyaan konyolmu itu? setelah Jiwonua hal yang kita lalui bersama, janji yang dulu kita ucapkan. Apa kau pikir itu hanya lelucon?  Yak Jiwon. Neo micheoseo? Apa hal itu kurang jelas dimatamu?” Jennie berkata cepat. Nafasnya memburu. Ia hampir menangis.
“ ani. Aku hanya bergurau..” Ia tertawa, tawa Jiwon seakan mengandung pesan tersirat. Lalu.... bagaimana jika aku pergi? Apa kau akan melepas Jiwonua cintamu itu nuna?” lagi-lagi Jiwon menanyakan hal yang membuat Jennie Jiwonakin pusing.
“ mwo? Pergi? Kau akan pergi Jiwon-a?” Kata Jennie terbata-bata. Hujan di luar sana Jiwonakin menderu. Membuat desingan aneh di sekitar gendang telinganya.
“ Mungkin.” Namja itu menunduk.
“ eodi? Berapa lama? Wae?”
“ ke suatu tempat yang aku tak bisa menjelaskanya. Aku tak tahu berapa lama itu. dan karena aku harus.” Ia menjawab Jiwonua pertanyaan yang dilontarkan Jennie.
            Yeoja itu tercengang. Ia merasa tertampar atas kata-kata yang dilayangkan Jiwon barusan.
“ apakah kau akan kembali?” Jennie mulai terisak-isak. Ia mengelap sudut matanya dengan tangan yang kebas.
“ entah. Aku tak bisa menjawabnya. Maafkan aku.”
“ kau akan meninggalkanku? Sendiri? Kau akan melepas Jiwonua janji itu Jiwon-a? Apa kau sudah tak mencintaiku?”
“ aku tak ingin menginggalkanmu nuna. Sungguh. Tidak, janji itu masih akan ku jaga. Aku masih mencintaimu nuna. Sangat. Namun kau tahu, aku harus pergi. Ke tempat yang tak bisa ku jelaskan, dan dalam waktu yang aku sendiri pun tak tahu.”
“ kapan kau akan pergi? Kau mau ku antar ? boleh aku bersamamu sebelum kau pergi?”
“ sekarang... Jangan mencariku besok pagi atau seterusnya, aku akan kembali entah kapan”
“ Jiwon ya. Neo micheoseo?” Jennie berteriak teriak. Gadis itu kalap. Tak henti henti ia melayangkan pukulan pada bahu namja di depanya. Sebelum kemudian ia meneggelamkan wajahnya pada dada namja itu. Jiwon membalasnya. Ia memberikan satu rengkuhan lembut pada punggung Jennie. Dan mengelusnya perlahan.
“ mianhae nuna. Mianhae.”
Jennie bangun, ia menatap sendu wajah di depannya. Ia sudah tak sanggup lagi berkata-kata. Tiba tiba, Jiwon mengangkat tanganya, ia memindahkan gagang payung yang tadi dipeganya kepada Jennie. Jennie menerimanya dengan pandangan tak  mengerti. Kemudian Jiwon memberikan satu kecupan mungil pada dahi Jennie.
“ Annyeong.” Ia melambaikan tangan dan segera berjalan keluar dari lingkupan payung. Ia berlari menerobos badai didepanya. Tanpa menoleh. Meninggalkan Jennie yang menangis di bawah naungan rintik hujan. Jiwonua itu terjadi begitu saja. Cepat. Sangat aneh. perpisahan yang tidak bakalan ia bayangkan. Tanpa alasan yang  jelas.
*flashback off.
            Seperti itulah keadaanya saat ini. sendiri, hanya ditemani kesunyian. Ia tersenyum, namun pasti hatinya sangat perih. Jiwonbilu itu, menghunus lagi. bahkan dinginya angin saat ini, tak lebih terasa dibanding tusukan rindu yang kian menghujam.
            Tiba-tiba , ia mendengar suara lonceng dari toko buku. Seorang laki-laki keluar dari sana. Ia memakai jaket kulit tebal dan kacamata. Menatap sekilas kepada Jennie sebelum berlalu menerobos hujan yang kian menggila.
                                                                        ***

            Pendar sinar matahari pagi ini belum terlalu menyilaukan mata. Mungkin akibat hujan kemarin seharian penuh. Jiwon mengerjap-ejapkan matanya yang setengah terbuka. Ia menyibak selimut biru yang Jiwonalaman menghangatkannya. Dan menatap nanar pada dinding kamarnya yang bernaungkan lampu neon itu. Ada secercah sinar yang mengintip dari sela-sela gorden yang menggantung di samping dipannya. Segera ia bangkit dan melangkah ke arah jendela dan membuka gorden yang menutupinya. Membiarkan sinar itu leluasa untuk berkeliling ke dalam ruangan itu. Jiwon menatap ke luar. Jiwonua masih terlihat sama. Pot tanaman yang ada di bawah kamarnya, hanya pohon ek yang terlihat Jiwonakin tinggi sejak kepergianya. Ya.. ia telah kembali. Jiwon telah kembali.
                                                                     ***        
Jennie melangkahkan kakinya keluar kamar. Pussy, kucing kesayanganya masih meringkuk di sofa ruang tamu. Hewan itu bergelung sehingga ekornya hampir mengenai hidungnya yang pesek. Jennie berjalan ke arah sofa. Ia mengangkat hewan mungil itu dan memainkan ekornya. Pussy menggeliat. Ia merasa seseorang mengganggu tidurnya. Dengan eongan keras ia meloncat dari pangkuan Jennie dan menghilang di balik pintu.
“ bah.. bahkan kucing pun meninggalkanku.” Jennie mendengus. Ia menatap lamat-lamat celah pintu yang dilewati pussy. Sedetik kemudian,Ia merebahkan diri di sofa.Jennie memejamkan matanya. Ia mencoba untuk tidur, namun sia-sia, lagi-lagi matanya menolak untuk terlelap, beberapadetik kemudian ia hanya sibuk mengedip-edipkan mata. Sejenak ia berhenti dari kesibukanya. Jennie lalu hanya diam, memerhatikan langit-langit rumahnya. Tanpa ia sadari,setitik cairan bening berdesakan keluar dari pelupuk matanya. Asin.. ia merasakan, saat cairan itu merembes melalui pojok bibirnya. Jennie sudah mengangkat tangannya, guna menghapus air mata yang menganak sungai itu. Namun, diurungkanya lagi. inilah yang sejak lama ia tahan, ia membiarkan cairan itu meluncur dengan mulus. Air mata yang ia tahan sejak kepergian tanpa alasan Jiwon. Air mata penantian yang ia tak tahu dimana ujungnya. Ia merasakan dadanya sesak, ia terisak-isak, namun hanya isak kering yang terdengar. Kemudian ia memutuskan untuk diam. Sesaat, ruangan berluas .....x.....itu terlihat begitu lengang. Namun, deritan di pintu menandakan bahwa seseorang baru saja masuk.
“ Nugu?” Jennie berkata keras
“ Nayaaa....” suara seorang perempuan.
“ aaah... hani-ya.” Ujar Jennie. Segera ia bangkit dari duduknya, dan menyambut  kedatangan hani. Tergesa, ia mengusap kedua mata dan pipinya, namun Jiwonbab merah masih terpeta dengan jelas wajah tirusnya.
“ igeo,” kata hani, Jiwonbari meletakan plastik berisi bir ke atas meja. Dengan santai, ia meraih satu botol, dan menghenyakan diri di atas sofa. “ aku tak membeli ayam, maaf. Hmm... mungkin lain kali. Aku terlalu malas untuk mengantri. Ehehhe.”
“ gwenchana, bir ini tak akan berubah rasa walau tanpa hip-hop chikin.” Jennie mencoba menyamarkan kesedihanya dengan gurauan kecil. Ia berjalan ke arah tv dan menyalakannya.
“ aaah..kau salah,bir ini terasa hambar tanpa hip-hop chikin.”hani berkata seraya mengangkat tinggi kaleng bir, dan mengguncangkanya.
“ heleh kau ini... tambahkan saja garam ke dalam bir mu jika terasa hambar.” Ujar Jennie santai.
 Klik...Jennie memencet tombol remot,dan muncullah acara komedi. Ia mengamatinya sebentar.
“kau menangis.wae?” ucap  Hani tiba-tiba.
Klik..kini berita pembullyan teman sekolah muncul dihadapanya.
“ani..jangan terlalu risaukan hal itu. hanya sekedar kelelahan hati.”
Klik..satu lagi acara televisi yang terlewati.
“ Jiwon... namja itu, kau masih menantikanya?”
Mendengar nama itu disebut, Jennie diam. Tanganya terasa kaku walau hanya untuk menekan tombol.
Klik...Jennie kembali menekan tombol remot dalam satu helaan nafas. Ia berjalan gontai menuju sofa,dan terduduk. “ aku lelah,menantikanya. Namun,aku masih berharap.” Ia meraih satu kaleng dan membukanya. Sedikit buih menyembur, Jennie mengamatinya serius.bagaimana kumpulan gelembung mungil itu meluncur di pergelangan tanganya. Dalam satu tegukan,ia memindahkan air berbuih itu ke tenggorokanya.” Ahh..”
“ jangan terlalu memaksakan diri, buat apa kau menantikan sesuatu yang tak pasti?apakau yakin Jiwonua akan berbuah kebahagiaan? Bagaimana jika luka yang akan menyambutmu eh?”
“ nan molla.”
“ apa kau mau menghabiskan sisa umurmu untuk menantinya?dan menutup hatimu rapat-rapat? Apakah kau tak mau membukanya?walau hanya setitik celah?”
“nan molla.”
“ ayolah.. kau bisa melupakanya. Kau mau ikut dengan ku?”
“ apa?”
“ kencan buta.”
“mwo?” Jennie tersentak,hampir saja ia memuntahkan kembali bir yang ada di mulutnya.
“ wae? Bukankah itu biasa? Cobalah.. mungkin kau bisa menemukan seseorang yang cocok.”
“ ya mungkin saja. Ahahaha.” Jennie tersenyum kecut.
                                                ***
            Bulan Juli, akhirnya aku bertemu bulan ini di tempat ini lagi. Aku berhenti mengamati bangunan yang amat ku kenal ini. Mataku menelisik sekitar. Aroma basah bulan Juli memenuhi rongga hidungku. Aku dekati pintu bangunan tersebut. Melongok dari balik pintu untuk mencari sesuatu. Ku eratkan jaket wol yang membungkus badanku. Ingin rasanya aku melangkah ke dalam. Namun, sesuatu menahanku untuk tetap berada di depan pintu kaca. Hanya mataku yang aktif menelisik keadaan dalam bangunan. Aku masih mengingatnya dengan jelas. Tumpukan buku itu Jiwonakin tinggi saja. Masihkah misteri Han Seol belum terpecahkan?
            Sepertinya mereka telah mengganti warna cat dindingnya. Ah.. mengapa harus menggantinya? Bukankah warna hijau itu lebih meneduhkan daripada oranye seperti ini?
Aroma coffe ini mengusik indar penciumanku. Khas sekali. Aku menerawang masa lalu. Sekilas aku menoleh pada cafe di sebelah bangunan ini. Pukul 09.30 cafe itu baru saja buka. Lupakan cafe itu , kau harus segera menemukannya.
 Aku kembali memfokuskan pandangan pada perpustakaan itu. Mungkinkah dia tidak kemari?
Ada siluet bayangan yang terpantul dari kaca pintu ini. Aku mengamati bayangannya lekat-lekat. Sepertinya aku mengenal sosok itu. Rambut panjangnya, caranya berjalan. Mataku mengikuti langkahnya. Cara berjalan itu, langkah yang sedikit tergesa. Gadis itu berjinjit mengindari genangan air. Ia mengehentakkan kakinya setelah genangan air itu terlewati.
Namun, mungkinkah itu seseorang yang kucari? Segera aku mengenyahkan pikiran itu, mengingat Jennie nuna bukan tipe gadis yang suka memakai sepatu berhak tinggi. Aku tertawa membayangkan kakinya dipaksa untuk menjadi lebih tinggi diluar biasanya.
Segera ku berbalik menghadap jalan. Pemilik bayangan itu telah raib. Ia meninggalkan jejak hak sepatu pada jalan becek itu. Mungkin Jennie nuna akan kemari besok.Aku memutuskan untuk kembali esok.
pov end
                                                ***
Bulan Juli, akhirnya gadis itu menyapa bulan ini di tempat ini lagi. Gadis itu berjalan tergesa. Ini pertama kalinya ia ikut pengalaman konyol sejenis kencan buta. Ia telah berdandan habis-habisan untuk moment aneh ini. Berkali-kali ia mengganti baju dan mematutkan diri depan cermin. Ia membiarkan rambutnya tergerai.
Pukul 10.00 aku menunggumu di kafe The Star.Jangan terlambat Jennie Kim!
Ia baca kembali pesan dari pasangan kencannya, Kim Donghyuk.
 The Star Caffe, terletak 10 meter setelah perpustakaan. Jennie melangkahkan kakinya tergesa. Sepatu hak ini membuatnya berjalan ketimpangan. Ia melewati perpustakaan. Ia menoleh sambil berlalu. Tampak seorang namja berdiri di depan pintu perpustakaan. Ia melongok dari balik pintu untuk mencari sesuatu. Ia eratkan jaket wol yang membungkus badannya. Tak ada aktivitas lain yang dilakukannya selain menatap ke dalam gedung perpustakaan.
 Ada yang tidak beres dengan namja ini, apakah ia mencari seseorang? Pikir Jennie. Segera ia membuang ketidakberesan pada namja itu. Langkahnya terseok tatkala ia harus beradu dengan genangan sisa hujan. Gadis itu berjinjit mengindari genangan air. Ia mengehentakkan kakinya setelah genangan air itu terlewati. Sejurus kemudian, kakinya membawanya menuju The Star Cafe.
                                                ***
Ini dia, The Star Cafe, mataku berbinar menatap papan yang terpampang di atap cafe ini. Pelan, aku melangkahkan kaki memasuki bangunan bergaya luar angkasa ini. Aroma kopi menguar menelisik syaraf-syaraf indra penciumanku. Aku menajamkan pandangan ke setiap meja. Bola mataku menyapu seluruh ruangan. Namun nihil, tak ada sinyal keberadaan seseorang yang kumaksud.
“ Mencari seseorang?” Seorang pelayan menyapaku. “ Anda bisa memesan meja dulu Jiwonbari menuggunya.” Ia berkata ramah. Aku menatap tulisan nama di dada sebelah kirinya, Lee Hayi. Yeoja berperawakan gempal itu menuntunku ke salah satu meja.
“ Terimakasih, aku akan duduk disini.” Kataku menunjuk meja di dekat dinding kaca.
“ Baiklah, kau mau memesan sesuatu?” Ia berkata ramah.
“ Uhm...
Diluar sana, mega mulai berarak. Membentuk formasi gelayut pada langit yang tak siap kedatangan tamu. Aku menatap nanar pada parade langit yang tengah berlangsung. Bintang tamu akan segera tiba. Benar saja, ‘bintang’ yang menjadi lakon itu mulai menampakan diri. Mulanya hanya setetes. Lalu beruntun. Jiwonacam peluru yang mendesing ke bumi.
Rinai hujan di bulan Juli. Rinai hujan yang membungkus kenangan. Rinai hujan yang membalut rindu. Rinai hujan yang...yang menguak masa lalu.
Aku tersadar, tak ada lagi kepulan asap dari cangkir di depanku. Aku melongok ke dalam cekungan porselen itu. Isinya juga telah tandas. Namun hujan di luar sana belum mengering. Embun terbentuk di permukaan dinding kaca. Aku menengok layar handphone. Pukul 10.30. Tigapuluh menit sudah jarum jam itu merangkak. Singgah dari angka lima ke angka tiga puluh. Dan Donghyuk belum menampakan diri. Aku menatap sepatu berhak di kakiku. Rasanya sia-sia aku merelakan anggota tubuhku untuk bersentuhan dengan sesuatu yang tak membuatnya nyaman. Haruskah aku menunggunya sedikit lebih lama? Sungguh menyebalkan menunggu 30 menit untuk sebuah ketidakpastian. Aku berkali-kali mengetuk meja dengan tempo yang tak beraturan untuk menyamarkan rasa bosan.
                                                ***
Tak ada lagi kepulan asap dari cangkir di depannya. Jennie melongok ke dalam cekungan porselen itu. Isinya juga telah tandas. Namun hujan di luar sana belum mengering. Embun terbentuk di permukaan dinding kaca. Ia menengok layar handphone. Pukul 10.30. Tigapuluh menit sudah jarum jam itu merangkak. Singgah dari angka lima ke angka tiga puluh. Dan orang yang ditunggunya belum menampakan diri.
Gadis itu duduk dengan resah. Ketukan tak bertempo menandakan bahwa ia tengah merasa bosan. 30 puluh menit ia mengenyakan diri. Menungggu untuk sebuah ketidakpastian. Dan beradu pandang dengan tetes hujan di balik kaca. Ia menatap pada blur bayangan dirinya. Ia tidak menyadari bahwa ia telah melakukan penantian yang lebih lama dari 30 menit. 30 menit yang membuatnya mengetuk tak bertempo meja didepannya. 30 menit yang membuatnya menggaruk kepala yang tak gatal. 30 menit yang tak sebanding dengan penantian lain yang telah dilakukannya.
Penantian tiga tahun lamanya. Namun ia bertahan untuk penantian itu. Tak ada garukan ataupun ketukan tak bertempo. Satu yang membuatnya bertahan, keyakinan. Keyakinan bahwa namja bermata sipit itu akan kembali. Ia mungkin akan kembali. Tidak. Ia pasti kembali.
Pukul 11.00. 30 menit itu sudah melipat gandakan dirinya. Jennie telah mencapai titik dimana bukan bosan lagi ia menyebutnya. Lelah. Ia harus berhenti. Tungkainya juga harus berhenti menahan perihnya ruam kemerahan akibat sepatu berhak itu. Persetan dengan Donghyuk. Apakah namja itu akan datang nanti, Jennie sudah tidak peduli. Satu jam sudah cukup untuk membuatnya menjadi makhluk antisimpati.
Jennie berkemas dengan segera. Meninggalkan ampas minumnya tergeletak di atas meja. Ia berhenti di ambang pintu. Payung yang ia bawa segera terkembang. Mendongaklah ia, menatap lekat-lekat air yang menetes dari atap cafe. Ia harus bergegas, atau badannya akan basah kuyup bahkan sebelum kakinya menginjak teras rumah.
                                                            ***
Jennie pov
Hujan ini seakan tak memberi sinyal akan reda. Kuyakinkan diri bahwa dengan berdiri di ambang pintu ini tak akan membuat air itu berhenti menetes. Segera kukembangkan payung yang ada di tangan. Aku harus bergegas, atau badanku akan basah kuyup bahkan sebelum kaki ini menginjak teras rumah.

Ku biarkan kakiku terayun membawa ku menembus hujan di depan. Seketika hawa dingin merujam menelisik sela-sela pori di kulitku. Aku bergidik. Jiwonakin kupererat pegangan pada gagang payung yang licin ini. Aku merasakan tanganku  mulai kebas.
Jalan sepi ini berhiaskan backsound suara hujan. Aku melangkah pelan, takut terpeleset. Sekali lagi, menikmati tetes air yang menjilat pangkal mata kaki. Aku berhenti di depan perpustakaan. Namja tadi sudah tak ada. Sudahlah, berdiri di tempat ini, saat hujan, hanya akan menguak kenangan itu. Aku memutuskan untuk kembali beradu dengan genangan air. Kakiku kembali melangkah.
Pov End
                                                ***
Gagang payung di tangannya Jiwonakin licin. Jiwonakin ia pererat agar payungnya tak tertiup angin. Jennie bergidik. Angin berhembus kencang. Menerbangkan rambutnya yang tergerai. Sejenak Jennie berhenti di depan gedung perpustakaan. Dua biji matanya menelisik halaman perpustakaan. Namja tadi sudah tak ada. Sudahlah, berdiri di tempat ini, saat hujan, hanya akan menguak kenangan itu. Jennie memutuskan untuk kembali beradu dengan genangan air. Kakinya kembali melangkah.
Sekali lagi, angin kasar berhembus. Payungnya hampir terlepas dari pegangan. Cengkeraman pada gagangnya Jiwonakin ia pererat. Ia sangat berhati-hati dengan payungnya. Hingga tak menyadari ada seseorang yang tengah mengikutinya. Begitu lihainya namja itu menyembunyikan kecipak kakinya. Jika dilihat dari langkahnya, ia bahkan tak berjingkat. Kakinya berayun biasa. Anehnya, Jennie tak menyadari kehadiran pihak kedua di belakangnya.
Hujan tak sederas tadi. Angin juga tak bersiul sekencang beberapa saat lalu. Namun, ada sesuatu yang lebih kuat dari angin ataupun hujan untuk membuat Jennie melepas cengkramannya. Sergap, Jennie berbalik. Seseorang telah mengambil alih payung di tanganya. Air mengucur melalui ubun-ubunnya. Gadis itu terpaku menatap seseorang yang kini berdiri di depannya. Buliran air hujan menampar pipinya yang kemerahan. Diggitnya bibir yang mulai membiru itu. Pupil matanya membulat seiring senyum namja itu.
  N..Neo.”  Jennie menggigil. Diusap wajahnya untuk memperjelas penglihatanya.
“ Na..ya. Jiwon. Ingat?” Jiwon tersenyum. Senyum yang sama.Mata sipitnya terJiwonbunyi saat lengkungan bibirnya terbentuk. Menampakan gigi kelincinya yang menyembul. Sesuatu bergemuruh dalam diri Jennie. Kebahagiaan, kemarahan, rindu, Jiwonua menggelegak. Ia tengah beradu dengan emosinya. Jiwon menarik Jennie ke dalam rengkuhannya. Memeluk erat tubuh kecil dalam dekapannya. Pelan, ia memberikan sapuan lembut pada punggung gadis itu.
Yang dipeluk terisak. Membenamkan dalam-dalam wajahnya pada dada namja ini.  Jennie memberikan remasan kuat pada jaket yang dikenakan Jiwon.
“ Nappeun. Nappeun.” Ia berkata di sela-sela isaknya. Jennie Jiwonakin mempererat pelukannya. Penantian tiga tahun kini telah terbayar. Tiga tahun lamanya ia harus berkutat dengan penantian.
Jiwon melepaskan dekapanya pada gadis itu. Menatap tubuh yang kini basah kuyup di depannya. Namja bermata sipit itu memberikan seringai usil. “ kau nampak lebih tinggi nuna.” Matanya menyipit pada sepatu berhak yang terpasang di kaki Jennie. Bukannya Jennie tak cocok mengenakan sepatu seperti itu. Hanya saja, tampak lucu sekali melihatnya berdiri ketimpangan seperti itu. Jennie mengerucutkan bibirnya sebagai balasan atas kalimat Jiwon barusan. Jelas gadis itu terlihat sebal.
Jiwon menyingkirkan rambut yang menjuntai pada dahi gadisnya. Kulit itu mulai kedinginan. Tulang pada wajah tirus Jennie, terlihat Jiwonakin kaku. Jiwon tahu, yeoja itu sedang berusaha menyembunyikan rasa dingin. Jennie menggigit bibirnya. Giginya nampak bergemeletuk pada bibirnya yang pucat.
“ Kau kedinginan.”
“ Jangan risaukan.” Gadis itu bergumam pelan. Menunduk.
Jiwon mendekat. Ia mengulurkan tangan untuk mengangkat wajah sayu Jennie. Menempelkan kedua tangannya masing-masing pada pipi gadis yang berJiwonu itu. Jiwonburat jambon, menandakan bahwa gadis itu tengah menahan malu. Jiwon mengecupnya. Memberikan satu sapuan lembut pada bibirnya yang membiru. Gadis itu membalasnya. Wajahnya yang pucat berangsur berwarna. Kecupan itu seakan telah mengelupas pucatnya kulit sayu yang telah mengerak lama. Warna merah muda menyemburat dari kedua pipi gadis ini. Bibir kedua pasangan ini beradu dengan lihainya. Seakan sudah sering mereka melakukanya.






“ Gomawo.” Ucap namja itu setelah melepas tautannya.
“ Untuk apa?”
“ Untuk menungguku.”
Jennie tersenyum. Manis, hal itu yang mampu mendeskripsikan rupa wajahnya saat ini. Ia berkata setelahnya “ Gomawo.”
“ Untuk apa?”
“ Untuk kembali kepadaku.”
Jiwon ikut mengembangkan senyumnya mendengar pernyataan Jennie.
“ Siap memecahkan misteri itu, Han Seol-ssi?” Jiwon tertawa menggoda. Ia menyebut Jennie sebagai tokoh wanita dalam novel berjudul Outsider, karangan Guiyeon.
“ Tentu saja Ha Ru-ssi.” Balasnya. Jennie menyebut Jiwon sebagai Ha Ru .  Ialah tokoh yang disukai oleh Han Seol. Diceritakan bahwa Ha Ru adalah seorang dengan pembawaan misterius dan dingin. Namun, karena itulah Ha Seol menaruh hati pada namja itu. Namun, di balik itu, Eun Chan lah namja yang mempunyai perasaan pada Han Seol.
Jiwon mengenyitkan dahi. “ Wae Ha Ru? Nan Eun Chan.”
“ Haha.. tapi aku menyukai Ha Ru. Dan kau harus menjadi Ha Ru, Jiwon-ssi.” Ucap Jennie berlagak serius. Padahal jelas tadi ia tengah tertawa
 “ Kau menyukai namja dingin. Bukankah ada Eun Chan yang lebih memerhatikan Han Seol?”
“ Ingat drama yangs sering diputar? Namja yang tak acuh yang biasanya mendapat cinta gadis itu.” Jennie berkata menggurui.
“ Baiklah, aku akan menggantinya, aku akan menjadi Eun Chan yang  mendapatkan hati Han Seol.”
“ Bagaimana bisa? Yaaak. Kim Jiwon... Kau bukan Guiyeon. Mana bisa kau mengganti alurnya begitu saja?” Jennie memberikan cubitan kecil pada lengan pria itu. Jiwon meringis.
 Aku bisa. Hahaha.”
Lalu keduanya tertawa. Saling menyangkal kelanjutan kisah Han Seol dan misterinya . Memperdebatkan hal yang tak perlu di debatkan. Memperbincangkan kisah yang terjadi selama perpisahan. Bak drama musical dengan backsound tetes air hujan.
                                                                        ***
Prolog
Di bawah guyuran air hujan. Saat pertama kalinya kita bertemu. Di bawah dua payung terkembang yang berjalan bersisihan. Di bawah hujan juga, kau kembali. Kembali dengan janji untuk bersama lagi. Kembali untuk menyambung kisah yang Jiwonpat terpotong. Melanjutkan serpihan puzzle yang pernah tercecer. Masih ada pelangi setelah hujan. Masih ada tawa yang akan berlanjut untuk meneringkan air mata.
Di pertengahan bulan Juli. Saatnya meninggalkan hawa menyengat di musim panas. Menyambut rinai hujan. Mengucapkan salam perpisahan pada hawa lembab di musim lalu. Aku mengucapkan selamat datang pada langit yang bertabur hujan. Melambaikan tangan pada payung yang terkembang. Hujan selalu membawa cerita, pada siapapun yang pernah menyentuh dinginnya tetes air itu.  Dan inilah kisahku. Kisah dalam balutan penantian beratapkan rinai hujan. Under The Rain.
                                                TAMAT ASEK :v
BAPER TAHEK --____--
Demi apa, buat ff Jennie sama Jiwon :V Kesambet apaan?  Wahahahahahahah  :V
Adududu. Bersiap buat  FF selanjutnya asek :V

Comments

Popular Posts