Cerpen Sosok Dalam Cermin

Sc:Google Image

Sosok Dalam Cermin

Penampakan gadis kecil berkepang dua, dengan raut sendu, jelas bukan pemandangan yang ingin dijumpai setiap orang dalam cerminnya. Pastinya hal tersebut akan membuat orang lari tunggang langgang.
Seperti yang terjadi pagi ini, sosok itu kembali muncul tatkala aku melintasi cermin.  Aku sempatkan diri untuk melirik ke dalam cermin.Memang tidak melihatnya secara utuh, namun hanya melalui sorot matanya saja, yakinlah aku bahwa ia adalah sosok yang sama. Aku segera meraih sisir yang berada di atas lemari dan mulai menyisir rambutku yang berombak. Tautan antara gigi-gigi sisir dan rambutku, menimbulkan bunyi srek halus. Sembari menyisir, otakku terus berputar. Tak henti aku memikirkan sosok yang aku lihat sejak kedatanganku di rumah ini.
Umurku 20 tahun,dan hal ini mulai terjadi lima tahun yang lalu. Sebuah kejutan mengerikan, tatkala kudapati sosok itu menghias cermin di rumahku. Ketika kemudian, gadis kecil itu menatapku dengan pandangan menuntut. Setidaknya, itulah ekspresi yang ku tangkap dari balik sorot matanya.
Pernah ku coba untuk mencopot cermin itu, namun sosok itu semakin sering muncul bahkan dalam fikiranku. Hal itu memang menakutkan,namun kini, rasa kesalku mengalahkan ketakutan akan sosok itu,jadi aku lebih suka untuk mengindarinya. Akhirnya ku putuskan untuk tetap memasang kembali cermin di samping kamar. Dan sosok itu pun hanya kadang muncul pada setiap benda berkaca. Seperti  gelas kaca, sendok, bahkan kaca etalase toko.
“ Bisakah kau berhenti berpura-pura menjadi diriku eh? Makhluk apapun kau, tidakkah kau merasa lelah?” Aku berbicara sembari menatap ‘bayangan ku’ dalam cermin. Sosok dalam cermin itu hanya memandangku nanar. Aku mendengus sengau sebelum berlalu. Dan bayangan itu, apakah masih berada dalam cermin? Entahlah,otakku terlalu malas,untuk menyoal hal itu.
Hari minggu merupakan saat terbaik untuk melemaskan otak. Jalan-jalan ke mall, bisa menjadi pilihan terbaik untuk menyegarkan syaraf-syaraf tubuh. Rendi, bocah lelaki itu, aku ingat berjanji akan mengajaknya ke Gardena. Aku yakin dia pasti  telah menungguku daritadi.
Gardena sangat ramai pada hari libur seperti ini. Celoteh riang anak-anak menambah hiruk pikuk suasana ruangan ber AC itu. Aku dan Rendi berjalan membelah kerumunan orang yang berlalu lalang. Seorang anak menabrakku,
“ Ehe..”  Ia tersenyum sembari berlalu. Aah.. masa kecil yang indah, tanpa beban. Ku lihat ia berlari ke arah orang tuanya.
  Kau mau es krim Ran?” Ku tengok bocah 9 tahun yang kini menggenggam pojokan kaosku.
“ Ehem.” Ia menjawab malu-malu.
Mengantri di antara kerumunan orang berlalu lalang bukanlah hal yang mudah. Aku harus selalu menjaga keseimbangan agar tak jatuh tertubruk orang lewat. Namun, berada di keramaian adalah hal yang ku suka. Apalagi jika ada orang yang tiba-tiba menyapaku. Bahkan tak jarang dari mereka yang meminta untuk berfoto.
            “ Ah.. Kak Hani. Iya, Kak Hani, penulis itu kan? Aku pernah membaca karya Kakak. Itu sangat hebat.”
            Namun, inilah yang kusukai. Dimana saat orang-orang mengakui keberadaanku dan mengenalku.
              Ada yang bisa saya bantu?”  Suara penjual es krim itu seketika membuyarkan lamunanku.
“ Ah.. baik. Dua coklat vanilla.” Jawabku .
Dua eskrim coklat vanilla kini sudah resmi menjadi milik kami. Aku melihat Randy menjilat es-nya dengan semangat. Randy termasuk anak yang bersih. Tampak ia memakan es nya dengan sangat hati-hati tanpa ada tetesan es di bajunya.
“ Bukankah asik jika kita makan es sambil berfoto?” Tanyaku. Sejenak Randy menghentikan kegiatan menjilatnya. Aku melihat matanya berbinar setelah mendengar tawaranku tadi. “ Kamu lihat?” Kata ku menunjuk mesin foto yang jaraknya beberapa langkah dari kami.
“ Ayo Kak. Wah, menyenangkan sekali bisa foto dengan penulis hebat seperti Kakak. Pasti teman-teman akan iri. Laku tidak ya, kalau dijual.” Ia berkata sembari menggodaku.
“ Dasar kau Ran,” Ku acak rambut anak, yang sudah ku anggap sebagai adikku ini.
            Kami menuju mesin foto itu dengan cepat. Ruangan itu berukuran sekitar 1x2 meter. Di dalamnya ada layar besar sebagai kamera. Aku dan Randy segera menempatkan diri di atas dua kursi yang tersedia. Oke, layar sudah on. Aku melihat Randy mengacungkan es krimnya melalui layar. Dan bayanganku sendiri? Ah.. mengapa sosok itu harus muncul saat seperti ini. Seharusnya, kini yang terpampang di layar, adalah aku yang sedang tersenyum sembari menjilat es krim. Bukannya sosok kecil dengan sorot mata sayu seperti itu. Biarlah..batinku berkata untuk mengabaikannya. Tiba-tiba...
“ Kakak kenapa sedih?” Suara Randy mengagetkanku. Anak itu menunjuk layar.
“ Kamu melihatnya?” Aku bertanya keheranan. Bagaimana mungkin Randy mengetahui sosok itu?
Anak itu mengangguk, ia menatap layar dan aku bergantian.
                                                            ***
            Aku melajukan mobil membelah kerumunan kota Jogja. Huh.. seperti biasa macet membuat kendaraan ini megendap-endap. 32,31,30,detik penghitung waktu lampu lalu lintas seakan merangkak  menuju angka 0 dan memindah warna lampu menjadi  hijau.Panas, ku rasakan peluh mengalir menelusuri pelipisku. Seharusnya pemerintah lebih memerhatikan lingkungan kota pelajar ini.  Bayangkan, setiap hari orang harus bertahan dalam rengkuhan udara berpolusi. Sungguh keadaan yang amat menyiksa. Aku menghela nafas pelan, dan menatap arloji tua di pergelangan tangan. Pukul 12.00. Pantas saja, pikirku. Tiiinnnnn...lengkingan klakson mobil di belakangku, membuat ku terkejut. Ternyata sudah hijau, ku pacu segera mobil ku membelah jalan Kota Jogja.
            Akhirnya aku sampai rumah,sudah hampir Maghrib tatkala roda mobilku menggelinding memasuki garasi. Aku segera memasuki rumah. Bangunan bertingkat ini selintas terlihat suram dan gelap. Tak nampak satu pun cahaya dari lampu yang menggantung lesu di setiap sudut. Aku berjalan menuju tombol lampu dan menyalakan tombol on dari terletak di sudut sudut ruanganya. Selang beberapa saat kemudian, cahaya itu bermunculan dari beberapa titik. Membuat kegelapan yang tadi menyelimutinya lenyap seketika.
            Pelan, aku melangkah mengampiri sofa, dan merebahkan tubuhku ke dalam pelukanya. Aku meraih gambar yang tadi ku ambil bersama Randy. Mataku menyusuri kedua wajah bahagia yang terpampang dalam kertas itu. Randy, dengan senyumnya sedang mengacungkan es krimnya yang tinggal setengah. Disampingnya,seorang perempuan yang tersenyum dengan satu tangan pada pundak Randy, dan tangan lainnya memegang es krim, aku. Mataku terasa berat, mungkin karena kelelahan beraktivitas seharian. Dengan cepat, aku pun terlelap.
      Aku merasakan sekelilingku berubah gelap, sebelum aku sadari aku telah berada di sebuah tempat yang terasa familiar. Sebuah lapangan sepak bola. Hijau dan luas, sekelompok anak tengah bermain di tengah lapangan. Namun, pandanganku segera beralih pada sosok...Ya Tuhan, sosok anak kecil itu yang muncul dalam cerminku. Mata sendu itu, pandangan nanar, ya aku mengenalinya. Namun tunggu, semua ini begitu familiar bagiku. Anak perempuan berkepang dua itu, terduduk menekuk lutut di ujung lapangan. Menatap ingin ke arah gerombolan yang di tengah.
      " Kata ibu, aku tidak boleh bermain bersama anak itu.Orang tuanya jahat."
      Telingaku menangkap gelombang suara yang seketika membuat bulu kuduk ku merinding. Bagaikan film dokumenter yang diputar ulang. Rangkaian-rangkaian memori masa lalu mulai berdatangan bagai potongan puzzle yang perlahan menyusun diri. Aku yakin ini adalah mimpi, namun sungguh ini terasa sangat nyata. Ini benar-benar mimpi paling buruk yang pernah ku alami.
      Aku menatap kosong ke arah bocah kecil itu. Tepatnya, aku menatap kosong pada ‘diriku sendiri’ di masa lalu. Haruskah aku mengulang hari ini lagi? Bukankah aku telah mencoba untuk menghapusnya? Meninggalkan segala luka, kesedihan dan kesendirian ini . Aku sudah menemukan kebahagiaanku sekarang.
      Rasa itu datang lagi. Rasa sakit yang membelaiku selama sepuluh tahun. Sembilu bermata seribu itu, kini mulai menghunus ulu hatiku. Sakit, tapi tidak berdarah.
      Aku menghambur cepat ke arah ' sosok ku' yang kini meringkuk, ketakutan. Anak-anak kurang ajar itu, mereka berjalan mendekati sosok yang berada di ujung lapangan.
" Hentikan... ku mohon hentikan." Aku berteriak pada sekelompok bocah yang kini mengelilingi'ku'.
" Ku dengar, kau tak punya orang tua eh?"
" Diam, nanti dia marah. Kata ibu, dia agak gila,karena tidak punya orang tua"
      Aku melihat 'diriku'menangis. Menekuk lutut dan sembari menatap tak berdaya terhadap anak-anak itu. Pandangan marah yang terpendam, gejolak emosi yang semakin membuncah.
      "Pergi kau anak-anak gila." Sekali lagi aku meraung. Namun percuma, mereka tak mengindahkan peringatanku. Aku terduduk pada tanah kering lapangan ini. Menatap nanar kejadian yang berlangsung. Hanya sebagai penonton atas suguhan film horor, penonton tak berdaya yang tak mempunyai peran dalam naskah yang telah tertulis.
      " Sudahlah, ayo pergi. Tak ada untungnya disini" Anak-anak itu pergi,dengan pandangan menghina. Meninggalkan kami bersama debu tipis tanah berpetak itu. Aku menatap 'sosok ku' yang menunduk. Matanya basah oleh air mata.
      "Kenapa?" Aku mendengarnya berkata lirih
" Aku pun tak tahu." Aku menjawab hampa, seolah sosok kecil itu bertanya padaku.
" Kenapa bahkan kau menghindari ku?"Ia mengangkat wajahnya dan menatapku. Aku terpaku, ia dapat melihatku?
“Kenapa kau mencoba membunuh aku, masa lalumu? Apakah kau akan tetap membuat masa kecilmu menjadi kesepian dengan melupakannya? Apakah membunuh masa lalu mu akan membuat kesedihan itu hilang? Apakah kau akan tetap menjaga masa lalu mu sepi sendiri seperti ini? Setelah kau mengenal apa itu keramaian, kau tetap menjaga ku terbelenggu dalam kesepian. Jangan bunuh aku, jadikan aku bagian dari hidupmu. Ku mohon bawa masa kecilmu mengenal bagaimana rasanya di anggap keberadaanya."
Sosok itu berbicara sangat cepat, lidahku terasa kelu. Kata-katanya menusukku. Aku merasakan pipiku panas. Ada tamparan keras yang mengenaiku.
"Maaf" hanya itu yang bisa ku katakan. "Maaf telah mengindarimu. Maaf telah mengabaikanmu dalam cermin. Aku akan membawamu mengenal apa itu keramaian. Aku akan mengakuimu sebagai diriku. Maafkan aku karena telah menjadi munafik dengan menampik kenyataan kesedihan yang bersemayam dalam diriku.”
'Sosok ku' tersenyum. Secercah senyum yang mengubah sinar wajahnya seketika.Senyum harapan, garis tipis itu, seolah mengupas kulit kesedihan yang telah berkerak lama.
     
      Kini aku mengerti, ya sosok itu. Cermin di rumahku sama sekali tidak bermasalah, bahkan mungkin itu cermin ternormal sepanjang sejarah. Cermin itu masih melaksanakan tugasnya dengan baik. Bahkan sangat baik. Cermin itu, tidak hanya menampakan apa yang terlihat mata biasa,tapi ia menampakan sosok apakah aku sebenarnya.
     
      Kini aku mengerti, sosok itu, bukan sosok yang seharusnya akau takuti. Bukan rupa yang harus selalu aku hindari. Namun, ia sosok itu adalah aku. Sosok itu adalah bayangan masa laluku. Ia adalah aku, seorang anak kecil yang tak mengerti apa itu arti cinta. Bagaimana rupa kasih sayang. Bocah yang terperangkap dalam belenggu kesendirian. Mencoba mencari arti keberadaan diri sendiri.
             'Sosok kecil ku' tiba-tiba mulai membesar, seolah melihat pertumbuhan yang dipercepat, aku terpaku. Seketika, sosok itu berubah menjadi sebesar aku saat ini. Sosok itu berdiri mengahadapku, dengan seulas senyuman singkat.
      Tiba-tiba semua menjadi buram.Sebelumnya, ku lihat 'diriku' melambaikan tangan.
Seketika aku terjaga, dengan napas memburu. Aku melihat ke sekelilingku. Bukan lagi lapangan, namun kursi yang terjejer anggun. Foto itu masih tergenggam di tangan kananku. Dengan cepat, aku sadar bahwa aku berada di rumah. Seketika aku berlari menuju cermin di samping kamarku. Aku terpaku menatap bayanganku sendiri. Sosok anak itu menghilang, yang ada dalam cermin kini aku dengan rambut awut-awutan dan mata nanar. Lalu,aku melihat siluet mata yang ku kenal, mata sosok yang selalu berada dalam cermin ku, ternyata ia tak menghilang. Namun, kini mata itu bersinar. Dan aku melihat itu dalam bayangan mataku sendiri. Aku tersenyum.                                                                                                                                                                                                                                                     

           
           


Sekali-sekali post cerpen yaa.. Terimakasih untuk pembaca. Komentar sangat diharapkan. 
Salam literasi
           


Comments

Popular Posts